Ada yang nikah muda karena takut dosa.
Ada yang menunda nikah karena trauma keluarga.
Ada yang nikah karena cinta, tapi berujung luka.
Ada pula yang memilih sendiri, dan tetap bahagia.
Dalam hidup, nikah bukan sekadar soal “halal”, tapi juga soal kesiapan, tanggung jawab, dan makna. Tapi kenapa banyak orang justru merasa dihakimi hanya karena belum menikah? Apakah semua orang memang diwajibkan menikah? Apakah menunda berarti dosa?
Nikah Bukan Sekadar Status
Di balik undangan, mahar, dan kata “sah”, ada realita yang kadang nggak disorot:
Orang yang nikah tanpa kesiapan batin, tapi dipaksa norma.
Orang yang menikah karena takut omongan tetangga, bukan karena panggilan jiwa.
Orang yang menjadikan pernikahan sebagai pelarian dari luka masa lalu.
Padahal, Islam nggak pernah menekan manusia untuk “harus” menikah dalam waktu tertentu. Islam justru mengenal fleksibilitas hukum berdasarkan realitas manusia. Dan di sinilah pentingnya kita tahu: hukum menikah dalam Islam bisa berubah-ubah.
Saat Hukum Taklifi Bertemu Realita
Islam mengenal lima hukum taklifi: wajib, sunnah, mubah, makruh, haram. Nah, pernikahan termasuk ibadah yang bisa berada di antara kelima hukum itu — tergantung siapa pelakunya dan seperti apa keadaannya.
Kenapa? Karena Islam memanusiakan manusia. Syariat itu bukan paksaan, tapi petunjuk yang mempertimbangkan:
-
Kesiapan psikologis dan finansial
-
Kebutuhan biologis
-
Potensi mudarat terhadap pasangan
-
Keseimbangan antara ibadah dan tanggung jawab rumah tangga
Kalau syarat terpenuhi dan niatnya lurus, menikah bisa jadi ibadah besar. Tapi kalau asal-asalan? Bisa-bisa jadi ladang dosa dan kezaliman.
Lima Wajah Pernikahan
1. Pernikahan Wajib
Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang:
-
Memiliki kemampuan untuk menikah secara fisik dan finansial.
-
Memiliki dorongan syahwat yang kuat.
-
Khawatir dirinya terjerumus ke dalam zina atau perbuatan maksiat.
Hal ini karena menjaga diri dari perbuatan haram adalah suatu kewajiban, dan tidak ada cara yang lebih tepat untuk menjaga kesucian diri selain melalui pernikahan.
Perkataan Ulama:
Imam al-Qurthubi berkata:
“Orang yang mampu menikah dan khawatir terhadap dirinya serta agamanya akibat hidup membujang, maka ia wajib menikah. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.” (Fikih Sunnah, Sayyid Sabiq).
Contoh kasus:
Fahmi bekerja di kota besar, hidup jauh dari orang tua. Lingkungannya bebas, godaan besar, dan dia sadar betul bahwa syahwatnya kuat. Pernah suatu ketika dia hampir terjerumus dalam hubungan haram, dan dia takut itu terjadi lagi. Finansialnya cukup untuk menikah dan menghidupi keluarga kecil.
Dalam kasus Fahmi, menikah jadi wajib. Karena kalau dia tidak menikah, besar kemungkinan dia jatuh dalam zina. Menikah adalah satu-satunya jalan untuk menjaga kehormatan dan agama
Kesimpulan Kriteria Pernikahan Wajib:
✓ Mampu menikah
✓ Terdorong syahwat
✓ Takut terjerumus dalam zina
2. Pernikahan Sunnah (Mandub)
Pernikahan menjadi sunnah bagi seseorang yang:
-
Terdorong untuk menikah dan memiliki kemampuan menikah,
-
Namun tidak khawatir jatuh ke dalam perzinaan jika tidak menikah.
Dalam kondisi ini, pernikahan dianjurkan sebagai bentuk ibadah dan upaya menambah keturunan, namun tidak sampai diwajibkan karena tidak ada bahaya yang mengancam jika ditinggalkan.
Contoh kasus:
Nisa adalah seorang guru yang mencintai anak-anak dan bercita-cita punya keluarga. Dia sudah mapan, tenang, dan mampu menjaga diri dari godaan. Tidak ada tekanan syahwat yang berlebihan, tapi keinginan menikah itu ada—untuk membangun rumah tangga dan memiliki keturunan.
Bagi Nisa, menikah adalah sunnah (mandub). Karena walau tidak menikah pun dia tetap aman dari maksiat, tapi niatnya yang baik menjadikan nikah itu berpahala baginya.
Kesimpulan Kriteria Pernikahan Sunnah:
✓ Mampu menikah
✓ Terdorong untuk menikah
✓ Tidak takut jatuh dalam zina
3. Pernikahan Haram
Pernikahan menjadi haram bagi seseorang yang:
-
Tidak mampu menunaikan hak-hak istri seperti nafkah, mahar, atau hubungan suami-istri,
-
Tidak memiliki keinginan untuk menikah,
-
Dan tidak menjelaskan keadaannya kepada calon istri.
Jika seseorang menyembunyikan kelemahannya ini, lalu menikah, maka ia tergolong melakukan penipuan dan berbuat zalim.
Perkataan Ulama:
Imam al-Qurthubi menegaskan:
“Siapa pun yang mengetahui dirinya tidak mampu menunaikan nafkah, mahar, atau hak-hak wajib lainnya, maka haram baginya untuk menikah, kecuali ia menjelaskan kondisi tersebut kepada calon istrinya, atau ia yakin mampu menunaikannya setelah menikah.” (Tafsir Al-Qurthubi).
Contoh kasus:
Danu mengidap penyakit menular serius dan tidak memiliki penghasilan tetap. Ia juga tidak memiliki gairah terhadap perempuan dan tahu bahwa dia tidak akan mampu memberi nafkah atau melayani istrinya secara lahir dan batin. Namun, ia tetap menikah tanpa memberi tahu calon istrinya kondisi itu.
Dalam kasus Danu, menikah itu haram. Karena dia menipu dan membahayakan calon istrinya dengan menyembunyikan kondisi serius yang seharusnya menjadi hak untuk diketahui.
Kesimpulan Kriteria Pernikahan Haram:
✗ Tidak mampu menunaikan hak istri
✗ Tidak ada dorongan menikah
✗ Menyembunyikan kelemahannya
4. Pernikahan Makruh
Pernikahan menjadi makruh bagi seseorang yang:
-
Tidak mampu menunaikan kewajiban terhadap istri secara sempurna (walaupun tidak sampai menimbulkan kerugian besar),
-
Tidak memiliki dorongan menikah,
-
Tidak khawatir terjerumus dalam maksiat,
-
Bisa mengganggu aktivitas lain yang lebih bermanfaat seperti menuntut ilmu atau ibadah.
Misalnya, laki-laki yang memiliki sifat keras, tidak sabar, atau emosional, dikhawatirkan akan menyulitkan istrinya dalam rumah tangga, walaupun tidak sampai merugikan secara fatal.
Contoh kasus:
Raka adalah mahasiswa pascasarjana yang sedang sibuk menyusun tesis. Dia tidak punya keinginan menikah, tidak takut terjerumus dalam maksiat, dan orangnya temperamental serta mudah tersinggung. Kalau menikah, dia khawatir justru akan memperlambat studinya dan berdampak buruk pada pasangan karena emosinya yang belum stabil.
Maka, bagi Raka, menikah saat ini makruh. Karena tidak ada kebutuhan syar’i, dan ada potensi bahayanya walau tidak besar.
Kesimpulan Kriteria Pernikahan Makruh:
✗ Tidak terdorong menikah
✗ Tidak takut maksiat
✗ Ada potensi mengabaikan hak istri atau mengganggu aktivitas ibadah/ilmu
5. Pernikahan Mubah (Boleh)
Pernikahan menjadi mubah jika:
-
Tidak ada dorongan kuat untuk menikah,
-
Tidak khawatir jatuh dalam perzinaan,
-
Tidak ada halangan untuk menikah, namun juga tidak ada dorongan khusus.
Dengan kata lain, pernikahan dibolehkan jika semua faktor pendorong dan penghalang tidak ada. Ini adalah kondisi netral, di mana menikah atau tidak sama-sama tidak berdosa.
Contoh kasus:
Tika adalah wanita single, bekerja, hidup tenang, dan tidak punya keinginan khusus untuk menikah atau punya anak. Tidak ada tekanan dari keluarga, tidak takut maksiat, tapi juga tidak menolak jika suatu saat ada jodoh yang datang.
Dalam kondisi Tika, menikah itu mubah. Artinya, boleh-boleh saja menikah atau tidak, karena tidak ada tuntutan atau ancaman dalam dua-duanya.
Kesimpulan Kriteria Pernikahan Mubah:
✓ Tidak ada larangan syar’i
✓ Tidak terdorong menikah
✓ Tidak takut zina
✓ Tidak ada niat khusus seperti keturunan atau penjagaan diri.
(Sumber pembagian hukum nikah dan kriterianya: Fatawa Islam no. 26587)
Solusi: Mengenal Diri, Baru Bicara Janji
Sebelum kamu melangkah ke pelaminan, tanya dulu ke diri sendiri:
-
Aku siap, atau cuma takut ketinggalan?
-
Aku ingin membangun rumah tangga, atau cuma ingin lari dari tekanan?
-
Aku mampu memberi, atau hanya ingin menerima?
Islam tidak menyuruh kita menikah untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Tapi untuk memenuhi hak jiwa, menjaga diri, dan mengabdi dengan sadar. Maka sebelum kamu menikah, berdamailah dulu dengan dirimu.
Wallahua’lam bis Showab.
Penulis: Ahmad Anshori, Lc., M.Pd.
Artikel: Remajaislam.com