Saat Hidup Terasa Berat, Belajar dari Tahun Duka Rasulullah ﷺ
Bismillah…
Pernahkah engkau merasa hidup begitu berat? Seolah semua pintu tertutup, harapan sirna, dan doa belum juga terjawab?
Ketahuilah, engkau tidak sendiri. Bahkan manusia termulia Nabi Muhammad ﷺ, pernah melewati masa paling gelap dalam hidupnya. Tahun itu dikenal dalam sejarah Islam sebagai ‘Ām al-Ḥuzn; Tahun Kesedihan.
Tahun Duka Cita (‘Ām al-Ḥuzn)
Dalam waktu berdekatan, dua sosok penopang terbesar dakwah beliau wafat:
-
Khadījah radhiyallāhu ‘anhā, istri tercinta, penenang jiwa dan sumber ketenangan hati.
Beliau adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi ﷺ ketika wahyu pertama turun.
Dalam hadis sahih dari Aisyah radhiyallahu’anha disebutkan:
مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيجَةَ، وَمَا رَأَيْتُهَا، وَلَكِنْ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُكْثِرُ ذِكْرَهَا
“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang wanita sebagaimana aku cemburu kepada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, namun Nabi ﷺ sering menyebut namanya.” (HR. Bukhari)
-
Abū Ṭālib, paman yang melindungi beliau dari gangguan Quraisy, wafat dalam keadaan belum sempat mengucap syahadat.
لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ
“Sungguh, aku akan memintakan ampun untukmu selama aku tidak dilarang.”
(HR. Muslim)
Ini menunjukkan betapa kehilangannya Nabi ﷺ saat ditinggal wafat oleh pamannya yang amat beliau sayang, dan berjasa membela dakwah beliau. Namun kemudian dengan turunlah larangan dari Allah ‘azza wa jalla untuk mendoakan istighfar pamannya yang meninggal dalam keadaan musyrik meskipun amat beliau sayang dan telah membela beliau. Hal ini mengandung pelajaran berharga bahwa tauhid adalah yang modal utama yang tak bisa ditawar untuk mendapatkan ridhonya Allah.
Setelah dua kehilangan besar ini, Nabi ﷺ pergi ke Thaif untuk berdakwah. Namun, beliau disambut dengan caci maki dan lemparan batu hingga berdarah. Di tengah luka dan kesedihan, beliau berdoa dengan penuh kerendahan hati:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُو إِلَيْكَ ضُعْفَ قُوَّتِي، وَقِلَّةَ حِيلَتِي، وَهَوَانِي عَلَى النَّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ…
“Ya Allah, kepada-Mu aku adukan kelemahanku, kurangnya usahaku, dan kehinaanku di mata manusia… Selama Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli.” (HR. At-Thabrani)
Doa ini menunjukkan betapa kuatnya hati Rasulullah ﷺ, semua kesedihan dikembalikan hanya kepada Allah.
Isra’ Mi’raj, Pelipur Lara dari Ilahi di Tengah Luka
Di saat luka belum sembuh, Allah memberikan hiburan yang tak ternilai: Isra’ dan Mi’raj.
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَى ٱلَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya.”
(QS. Al-Isra’: 1)
-
Isra’: Nabi ﷺ diperjalankan dari Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina dengan Buraq, tunggangan bercahaya cepat bagaikan kilat.
-
Mi’raj: Dari sana beliau naik menembus langit demi langit, bertemu para nabi, Adam, Idris, Musa, Isa, dan Ibrahim ‘alaihimussalām, hingga sampai ke Sidratul Muntahā, tempat paling tinggi yang tak dapat dicapai makhluk biasa.
Hiburan ini menjadi tanda kasih sayang Allah di tengah duka mendalam.
Hadiah Agung, Perintah Shalat Lima Waktu
Di Sidratul Muntahā, Allah memberikan hadiah agung bagi umat ini: shalat lima waktu. Awalnya diwajibkan 50 kali sehari, namun atas saran Nabi Musa ‘alaihis-salām, Nabi ﷺ memohon keringanan hingga menjadi 5 kali, dengan pahala 50 kali lipat. Allah berfirman dalam hadis Qudsi yang bercerita tentang peristiwa Isra’ Mi’raj:
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: هِيَ خَمْسٌ وَهِيَ خَمْسُونَ، لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ
“Itu lima waktu, tetapi nilainya lima puluh. Keputusan ini tidak akan berubah di sisi-Ku.” (HR. Bukhari)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
وَالصَّلَاةُ نُورٌ
“Shalat adalah cahaya.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullāh menjelaskan:
“Barangsiapa menegakkan shalat dengan hati dan anggota tubuhnya, maka hatinya akan tenteram sebagaimana Rasulullah ﷺ mendapatkan ketenangan dalam Mi’raj-nya.” (As-Shalāh wa Hukmu Tārikihā, hlm. 12)
Hikmah Isra’ Mi’raj
-
Cahaya datang setelah gelap.
Tahun penuh duka dihibur dengan kemuliaan langit.فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 6) -
Shalat adalah Mi’raj seorang mukmin.
Al-Hasan Al-Bashri berkata:“Shalat adalah Mi’raj bagi hati yang hidup; di dalamnya hamba naik menghadap Rabb-nya.”
-
Ujian tanda cinta Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ
“Jika Allah mencintai suatu kaum, Dia mengujinya.”
(HR. At-Tirmidzi) -
Dunia bukan tujuan akhir.
Mi’raj mengajarkan bahwa kemuliaan sejati bukan di bumi, tapi di sisi Allah.
Ujian Keimanan Kaum Quraisy
Ketika Nabi ﷺ menceritakan Isra’ Mi’raj, kaum Quraisy mendustakan beliau.
Mereka berkata sinis:
“Bagaimana mungkin seseorang pergi dari Makkah ke Syam lalu ke langit dalam satu malam?”
Namun, Nabi ﷺ dengan tenang menggambarkan Masjidil Aqsha secara rinci jumlah pintunya, arah bangunannya, dan ciri-cirinya.
Dalam hadis sahih disebutkan, Nabi ﷺ mengkisahkan:
لَمَّا كَذَّبَتْنِي قُرَيْشٌ قُمْتُ فِي الْحِجْرِ فَجَلَّى اللَّهُ لِي بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَطَفِقْتُ أُخْبِرُهُمْ عَنْ آيَاتِهِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَيْهِ
“Ketika Quraisy mendustakanku, aku berdiri di Hijr (Ka’bah), lalu Allah menampakkan Baitul Maqdis di hadapanku. Aku menceritakan kepada mereka tanda-tandanya satu per satu sementara aku melihatnya.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Orang-orang Quraisy yang pernah pergi ke Syam dan melihat Masjidil Aqsha sendiri kemudian membenarkan penjelasan Nabi ﷺ, karena detail yang beliau sampaikan tepat dengan kenyataan.
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan tidaklah ia berbicara menurut keinginannya. Ucapannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm: 3–4)
Sementara Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu berkata penuh keyakinan:
إِنْ كَانَ قَالَهُ فَقَدْ صَدَقَ
“Jika Muhammad yang mengatakannya, maka sungguh dia berkata benar.”
Sejak itu beliau digelari Ash-Shiddīq; orang yang paling mudah membenarkan kabar-kabar Nabi.
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (7/200) menegaskan bahwa peristiwa ini menjadi ujian keimanan terbesar, yang membedakan antara orang yang benar-benar beriman dan yang hanya ikut-ikutan.
Sahabat, Isra’ Mi’raj bukan sekadar kisah ajaib, tapi pesan spiritual yang hidup.
Ketika dunia terasa berat, ingatlah: Rasulullah ﷺ pun pernah menangis dalam sujudnya, namun beliau tidak menyerah.
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
“Jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu.”
(QS. Al-Baqarah: 45)
Maka, saat hatimu sempit dan hidup terasa berat, kembalilah ke shalat.
Karena shalat bukan sekadar rutinitas, tapi Mi’raj-mu menuju Allah.
Wallahua’lam bis showab.