Nabi membangun masjid yang mulia ini di tanah 2 anak yatim Anshar yang bernama Sahl dan Suhail yang dihargai 10 dinar, meskipun 2 anak yatim tersebut ingin mewaqafkannya.
Awal bangunan ‘madrasah’ Islam pertama ini berukuran panjang 35 m dan lebar 30 m, pondasinya batu, tiangnya batang kurma, atapnya pelepah kurma, dan berdinding bata. Sedang kiblatnya mengarah ke Baitul Maqdis. Pintunya ketika itu ada 3; pintu sebelah selatan, pintu sebelah timur yang kemudian dikenal dengan pintu Jibril, dan pintu sebelah barat (Bab Atikah) kemudian dikenal dengan sebutan Bab Ar-rahmah.
Ketika turun perintah pengalihan kiblat ke Ka’bah tahun 2 H, ditutuplah pintu selatan dan dibuka pintu sebelah utara.
Pada tahun 7 H setelah perang Khaibar, masjid markas pemerintahan Islam ini diperluas untuk pertama kalinya atas pendanaan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu- dengan ukuran 50 m x 49,5 m. Kemudian diperluas lagi oleh Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu-, Utsman bin Affan -radhiayallahu ‘anhu- dan raja-raja dinasti yang berkuasa setelah mereka pada masa pemerintahan mereka masing-masing sampai saat ini.
Sekarang bangunan masjid ini memiliki luas 98.327 m2 dan mampu menampung 800 ribu jamaah.
Pelajaran dari Masjid Nabawi
Masjid ini termasuk dari 3 tempat yang disyariatkan untuk bersusah payah mempersiapkan perjalanan kepadanya selain Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.
Shalat di masjid Nabi ini bernilai 1000 kali shalat di tempat lain kecuali Masjidil Haram. Para ulama menjelaskan, peziarah masjid Nabawi hendaknya meniatkan ziarahnya ke masjid dan bukan ziarah ke makam Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- 1 meskipun pada akhirnya akan tetap menziarahi makam beliau setelah berada di masjid, karena hal tersebut adalah bagian dari sunnah.
Membaca sejarah masjid mulia ini tergambar kesederhanaan hidup Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Beliau tidak mementingkan aksesoris dan penampilan fisik masjidnya, namun yang sangat diperhatikan oleh beliau adalah kualitas shalat masyarakatnya.
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah dalam keadaan muslim, maka hendaknya ia menjaga shalat-shalat ini di manapun ia dikumandangkan. Allah telah mensyariatkan bagi Nabi Nya perilaku/jalan hidayah, dan shalat itu jalan hidayah. Kalau kalian shalat di rumah kalian seperti orang munafik ini shalat di rumahnya, maka berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Kalau kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, maka kalian akan sesat. Tidaklah seseorang bersuci dan membaguskannya, lalu berangkat ke masjid di antara masjid- masjid ini kecuali Allah akan menulis kebaikan untuk setiap langkahnya, mengangkat derajatnya, dan menghapus kesalahannya. Sungguh, saya melihat, tidak ada yang meninggalkan shalat jamaah kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dahulu ada orang yang sampai dipapah oleh 2 orang hingga ia berdiri di shaf.” (HR. Muslim).
Ya Allah, di kota NabiMu ini kami memohon cintaMu, cinta orang yang mencintaimu, dan amalan yang mengantarkan kami kepada cintaMu.
Referensi:
Ketika Tanah Suci Berbicara (1435H). Indonesian Community Care Center. Penerbit Maktabah An-Nashim: Riyadh – Saudi Arabia.
Editor : Ahmad Anshori
Artikel : RemajaIslam.com