Tulisan RemajaIslam.Com kali ini moga jadi tulisan yang bermanfaat untuk muda mudi karena semakin tersebarnya kerusakan lewat perzinaan dan pacaran. Bahkan yang tren saat ini, ada yang berzina dengan laki-laki lain (mantan) sebelum menikah dengan laki-laki pilihannya. Tren ini disebut dengan JATAH MANTAN.
Pacaran dengan Berbagai Macam Istilahnya Termasuk Mendekati Zina
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan bahwa Allah melarang zina dan mendekati zina, serta dilarang pula berbagai penyebab yang dapat mengantarkan kepada zina. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:71.
Maka macam-macam istilah:
- MF (Mutual Friends)
- FWB (Friend With Benefits)
- TTM (Teman Tapi Mesra)
Istilah semacam di atas selama itu adalah perantara menuju zina, maka terlarang dan haram.
Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsirnya menjelaskan, “Larangan dalam ayat ini adalah larangan untuk mendekati zina. Larangan mendekati saja tidak dibolehkan, apalagi sampai melakukan zina itu sendiri. Larangan mendekati zina ini meliputi larangan melakukan berbagai pendahuluan dan perantara menuju zina. Dalam hadits sebutkan,
مَنْ حَامَ حَوْلَ الحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ
“Siapa saja yang berkeliaran sekitar tanah batasan, pelan-pelan ia akan masuk di dalamnya.” (HR. Bukhari, no. 5051; Muslim, no. 4094; Ahmad, 18368; dari hadits An-Nu’man bin Basyir). Khususnya perkara zina ini banyak yang punya kecondongan hati untuk melakukannya.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 480)
Zina itu disebut fahisyah, yaitu perbuatan melampaui batas dan keji karena dianggap jelek oleh syariat, akal, dan fitrah. Kerusakan zina adalah:
- Melanggar aturan Allah.
- Melanggar hak wanita.
- Melanggar hak keluarga si wanita.
- Melanggar hak suaminya (jika sudah bersuami).
- Merusak hal ranjang.
- Merusak nasab.
Zina disebut juga saa-a sabiila, sejelek-jeleknya jalan karena orang yang melakukannya sudah berani menerjang dosa yang besar.
Lihat Tafsir As-Sa’di, hlm. 480.
Pacaran Termasuk Zina Majas
Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan berbagai perantara menuju zina. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga adalah dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim, no. 6925).
Zina itu ada dua macam, yaitu: (1) zina hakiki, (2) zina majas (kiasan).
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan hadits di atas dalam Syarh Shahih Muslim, “Makna hadits, anak Adam itu ditetapkan ada bagian untuk berzina. Ada yang zinanya benar-benar berzina (zina secara hakiki) dengan memasukkan kemaluan, ini jelas haramnya. Ada yang zinanya secara majas (kiasan), yaitu dengan memandang, mendengar, atau yang terkait dengannya sehingga zina bisa terwujud. Bentuk zina secara majas adalah menyentuh dengan tangan, atau menyentuh yang bukan mahram dengan tangannya (misalnya dengan bersalaman, pen.), mencium wanita yang bukan mahram, berjalan menuju zina, melihat, saling bersentuhan, berbicara dengan mahram yang mengundang syahwat atau semacam itu, hingga berpikiran dengan hati untuk berzina. Semua ini adalah zina secara majas. Akhirnya, kemaluan yang nantinya membenarkan itu semua, sehingga bisa terjadi zina secara hakiki ataukah tidak.”
Baca juga: Zina Ujung-Ujungnya Penuh Penyesalan
Berbagai Dosa dalam Pacaran
1. Berduaan dengan lawan jenis
Berduaan bisa jadi berduaan di satu tempat, di kegelapan, atau di tempat sepi, atau boleh jadi berduaan lewat sms-an, telepon atau lebih keren lagi lewat pesan facebook. Banyak kejadian yang berawal dari berdua-duaan seperti ini, di antaranya berhubungan lewat inbox facebook, DM Instagram, lalu mengajak ketemuan, lantas ujung-ujungnya terjadilah apa yang terjadi. Berdua-duaan dengan lawan jenis terlarang berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya setan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahramnya.” (HR. Ahmad, no. 15734. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan hadits ini sahih dilihat dari jalur lain)
Dengan lawan jenis kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan dan jelas terlarang jika dengan syahwat (nafsu). Perintah ini dimaksudkan agar lebih menjaga hati dan agar hati tidak tergoda pada zina. Memandang lawan jenis barulah jadi halal jika melalui hubungan pernikahan atau dibolehkan jika wanita yang dipandang masih mahram kita. Mengenai larangan memandang lawan jenis, disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 5770).
Namun, masih boleh memandang wanita karena ada hajat seperti:
- nazhar, yaitu melihat wanita karena ingin menikahinya, yang dilihat adalah wajah (untuk mengetahui paras cantiknya) dan kedua telapak tangan (untuk mengetahui bagaimanakah fisiknya), tanpa menyentuh si wanita;
- tujuan mengobati, pada bagian yang diperiksa saja, tetapi baiknya dengan hadir mahram, suami, atau tuannya dan selama tidak ada wanita lain yang bisa mengobatinya;
- urusan persaksian, muamalah (jual beli dan semacamnya).
Lihat bahasan Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibnu Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’ karya Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuuri, 3:338-343, Penerbit Daar Al-Minhaj.
3. Tidak menjaga aurat
Ini pun jelas ada dalam pacaran. Karena seringnya berdua-duaan, si pria pun ingin melihat aurat Wanita bahkan zaman sekarang bisa lewat video call. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).
4. Bersentuhan dengan lawan jenis
Ulama Syafiiyah mengharamkan berjabat tangan dengan yang bukan mahram, juga tidak mengecualikan yang sudah sepuh yang tak ada syahwat atau tak ada rasa apa-apa. Mereka pun tidak membedakan bersentuhan dengan wanita muda. Lihat bahasan dalam Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 11:452.
Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Kepala seseorang ditusuk dengan pasak dari besi itu masih lebih mending daripada menyentuh wanita yang tidak halal untuknya (wanita bukan mahram).” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, 20:211. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Baca juga:
Dampak Buruk Pacaran
- Dampak jika punya mantan, ada mantan pacar yang mengajak mantannya yang mau menikah dengan pasangan lain untuk berzina untuk terakhir kalinya karena besok ia sudah menjadi milik yang lain. Ini dikenal dengan istilah JATAH MANTAN.
- Ada bentuk pacaran yang sampai terjadi kekerasan seksual dan fisik.
- Hamil di luar nikah, yang ada hanyalah membawa aib dan merusak nasab. Walaupun sebagian ulama menyatakan boleh wanita dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya tanpa ada sengketa dengan laki-laki lain dalam hal ini.
Ada juga yang hanya sekadar kenal semalam lantas berzina, dikenal dengan “one night stand” atau cinta satu malam. Cinta satu malam adalah kegiatan seksual di mana terdapat niatan bahwa tak ada hubungan lebih lanjut antar partisipan seksual. Praktik tersebut dapat dideskripsikan sebagai “kegiatan seksual tanpa komitmen emosional atau keterlibatan mendatang”. Ini tetaplah zina dan dosa besar, belum lagi ada dampak penyakit menular dari perzinaan. Semoga kita takut kepada siksa Allah.
Baca juga: Bahaya Zina Sebelum Menikah
Jika Ingin Berzina, Cobalah Renungkan Hadits Ini!
Sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk berzina!”
Spontan seluruh sahabat yang hadir menoleh kepadanya dan menghardiknya, sambil berkata kepadanya: “Apa-apaan ini?!”
Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada pemuda itu, “Mendekatlah.”
Pemuda itu segera mendekat ke sebelah beliau, lalu ia duduk. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda kepadanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa ibumu?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa ibu-ibu mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa anak gadismu?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa anak gadis mereka.”
Selanjutnya beliau bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudarimu?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ayahmu (bibimu)?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannnya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ayah mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, “Apakah engkau suka bila perbuatan zina menimpa saudari ibumu (bibimu)?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali jawabannya, “Demikian juga orang lain tidak suka bila itu menimpa saudari ibu mereka.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut, dan berdoa:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ
“Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan lindungilah kemaluannya.”
Semenjak hari itu, pemuda tersebut tidak pernah menoleh ke sesuatu hal (tidak pernah memiliki keinginan untuk berbuat serong atau zina).” (HR. Ahmad, 5: 256. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, perawinya tsiqah termasuk dalam jajaran perawi shahih)
Jangan sampai kita membuat malu orang terdekat kita ketika kita ingin berzina. Lalu bayangkan bagaimana jika orang terdekat kita dizinai orang lain, apakah kita terima?
Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno
Dampak Tidak Lagi Perawan Sebelum Menikah
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (8:176), al-bakaaroh secara bahasa (etimologi) berarti keperawanan wanita. Sebenarnya al-bakaaroh merujuk pada selaput dara (hymen) pada kemaluan wanita. Al-bikr adalah wanita yang belum pecah perawannya (selaput dara).
Menurut ulama Hanafiyyah, al-bikr secara istilah adalah sebutan untuk wanita yang belum pernah digauli (disetubuhi) baik dengan nikah atau selain nikah. Siapa yang keperawanannya hilang selain dari jimak, seperti karena melompat, haidh yang melimpah, ada luka, atau wanita ini tetap di rumahnya sampai ia keluar bersama para perawan lainnya, maka ia masih disebut gadis perawan.
Ulama Malikiyyah mengistilahkan perawan (al-bikr) adalah untuk yang belum pernah disetubuhi dengan akad sahih atau dengan akad fasid (rusak) di mana akad fasid juga dianggap sama dengan hukum akad sahih. Ada juga ulama Malikiyyah yang mengatakan, al-bikr adalah yang benar-benar masih perawan.
Di halaman yang sama dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (8:176), lawan dari al-bakaaroh adalah tsuyuubah, yaitu hilangnya keperawanan dengan jimak walau dilakukan dengan jimak yang haram.
Menikahi Wanita yang Ternyata Tidak Lagi Perawan
Ulama Hanafiyyah berkata bahwa laki-laki yang awalnya menikahi wanita dan ia tahu bahwa wanita tersebut masih gadis (perawan), lalu setelah digauli diketahui bahwa wanita tersebut tidaklah perawan, maka laki-laki tersebut tetap harus menunaikan seluruh mahar. Karena mahar itu disyariatkan hanya sekadar istimta’ (bersenang-senang dengan wanita), bukan karena wanita tersebut perawan. Keperawanan yang telah hilang sebelumnya tidak menyebabkan akad nikah jadi batal. Seandainya disyaratkan keperawanan ketika ingin menikah, tetap akad tidak bisa dibatalkan.
Ulama Malikiyyah untuk masalah seperti di atas menyatakan bahwa laki-laki tidaklah boleh mengembalikan wanita tersebut. Hal ini dikecualikan jika diberi syarat sejak awal bahwa laki-laki tersebut mau menikahi wanita selama wanita tersebut perawan. Karena adanya syarat ini, laki-laki tersebut boleh mengembalikan wanita tadi, baik si wali mengetahui masalah keperawanannya ataukah tidak.
Ulama Syafiiyah sendiri memberlakukan masalah di atas jika saat awal mau nikah diberikan syarat keperawanan. Namun, salah satu pendapat dalam madzhab Syafii menyatakan bahwa luputnya syarat, tetap membuat nikah tersebut sah. Sedangkan pendapat kedua dalam madzhab Syafii menyatakan bahwa nikahnya batal.
Sedangkan ulama Hambali memberlakukan syarat keperawanan. Jika tidak terpenuhi, nikahnya jadi faskh (batal).
Pendapat-pendapat di atas bisa dirujuk pada Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 8:180.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan:
- Jika mendapati wanita saat menikah tidak lagi perawan, nikahnya tetaplah sah. Hal ini dikecualikan jika diberikan syarat bahwa yang dinikahi haruslah wanita perawan. Untuk masalah ini barulah para ulama berbeda pendapat.
- Kalau menikahi wanita yang tidak perawan dinilai sah, maka sebaiknya tidak menanyakan masalah keperawanan saat akan menikah karena masalah ini begitu sensitif. Kalau sudah bertaubat, kenapa mesti dibuka dan ditanyakan lagi masalah ini? Apalagi kalau kita sudah mengetahui kondisi calon pasangan yang berubah dan sudah menjadi lebih saleh.
Baca juga: Istriku Sudah Tidak Perawan Lagi
Dampak Negatif dari “Sudah Tidak Perawan”
Satiti Nur Fatimah dalam jurnal penelitiannya menyatakan bahwa keperawanan dalam pernikahan menjadi hal penting, apalagi mengingat budaya timur yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Dalam hasil penelitiannya, istri yang tidak perawan saat menikah akan memiliki konsep diri yang cenderung negatif, di antaranya:
- tidak mampu membanggakan diri di hadapan suami,
- merasa bersalah,
- minder,
- kurangnya kepuasan hubungan intim, dan
- jika terjadi konflik dalam rumah tangga, tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas.
Baca juga: Cara Taubat dari Zina dengan yang Berbeda Agama
Semoga Allah menjauhkan kita, keluarga, dan keturunan kita dari zina dan berbagai perantaranya. Moga kita bisa mengamalkan doa ini,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِى وَمِنْ شَرِّ بَصَرِى وَمِنْ شَرِّ لِسَانِى وَمِنْ شَرِّ قَلْبِى وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّى
“ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MIN SYARRI SAM’II, WA MIN SYARRI BASHARII, WA MIN SYARRI LISANII, WA MIN SYARRI QALBII, WA MIN SYARRI MANIYYI”
(artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari kejelekan pada pendengaranku, dari kejelekan pada penglihatanku, dari kejelekan pada lisanku, dari kejelekan pada hatiku, serta dari kejelekan pada mani atau kemaluanku). (HR. An-Nasa’i, no. 5446; Abu Daud, no. 1551; Tirmidzi, no. 3492. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Baca juga: Doa Agar Tidak Terjerumus dalam Zina
–
@ Ponpes Darush Sholihin, Gunungkidul, 15 Syawal 1443 H
Artikel RemajaIslam.Com