Bismillah…
Sebelum bahas puasa atau tidak saat diperjalanan, kita buka dulu dengan pembahasan perjalanan (safar) yang seperti apa yang dianggap sebagai uzur boleh tidak puasa? Yang jelas, perjalanan jauh/safar merupakan salahsatu uzur tidak puasa, karena Allah berfirman,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Ada sejumlah kriteria yang harus terpenuhi agar sebuah perjalanan sah menjadi uzur tidak puasa:
1) Masuk dalam jarak safar secara syariat.
Ukuran safar berdasarkan pendapat yang kuat adalah sesuai pandangan budaya (urf). Maksudnya di saat umumnya Masyarakat di daerah yang kita tinggali menilai bahwa sebuah perjalanan bisa disebut perjalanan jauh.
2) Sebuah perjalan tergolong safar mubah bukan safar maksiat.
Jenis safar yang menjadi uzur puasa adalah, safar mubah dan safar ibadah, bukan safar maksiat. Artinya puasa yang bukan untuk tujuan dosa, tapi untuk sebuah kepentingan yang mubah atau ibadah. Seperti mudik untuk silaturahmi keluarga, membahagiakan orangtua atau urusan pekerjaan yang halal.
Selanjutnya kita bicara tentang hukum puasa saat perjalanan mudik. Kita bisa memahaminya dengan memahami dua jenis keadaan berikut:
- Jika tidak mengalami kerepotan, tentu saja sah, bahkan afdol. Karena puasa ketika itu lebih cepat menggugurkan kewajiban .
Namun jika akan memberatkan fisik, ada dua rincian hukum:
- Berat yang tidak membahayakan nyawa, maka lebih baik/dianjurkan tidak puasa.
Dalilnya sabda Nabi saat melihat seorang musafir puasa di siang yang panas, dia diteduhi dan dikeremuni orang-orang,
ليس من البر الصيام في السفر
“Tidak termasuk kebaikan, puasa di saat safar.” (HR. Bukhori)
- Berat yang tidak sampai pada tahapan membahayakan nyawa , maka wajib tidak puasa atau haram hukumnya memaksakan diri untuk puasa.
Sebagaimana disebutkan di dalam hadis Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ
حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ
ثُمَّ شَرِبَ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut.
Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan,
إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ
“Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan,
أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
“Mereka itu adalah orang yang pendosa. Mereka itu adalah orang yang pendosa”. (HR. Muslim)
Ketika Nabi menyebut orang yang memaksakan diri berpuasa padahal dalam keadaan nyawanya terancam dengan sebutan pendosa, ini menunjukkan bahwa puasa dalam keadaan seperti itu hukumnya haram.
Anshori, Ahmad (2023). Fikih Puasa Bagian yang Ringkas Saja. Shae Publishing, Yogyakarta.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com