Bismillah…
Dari ‘Aun bin Abu Juhaifah, dari bapak beliau (Abu Juhfah; seorang sahabat Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- menceritakan,
آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا فَقَالَ كُلْ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ قَالَ فَأَكَلَ فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ قَالَ نَمْ فَنَامَ ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ فَقَالَ نَمْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمْ الْآنَ فَصَلَّيَا فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ سَلْمَانُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu hari, Salman datang berkunjung ke rumah Abu Darda’. Saat tiba, ia melihat Ummu Darda’ dengan pakaian yang lusuh. Salman pun bertanya,
“Ada apa nih, kok bajumu lusuh?”
Ummu Darda’ menjawab, “Saudaramu Abu Darda’, dia nggak terlalu peduli sama urusan dunia.”
Nggak lama kemudian, Abu Darda’ pulang dan segera membuatkan makanan untuk Salman. Salman berkata,
“Makanlah dulu!”
Abu Darda’ menjawab, “Aku lagi puasa.”
Salman menanggapi, “Aku nggak akan makan kalau kamu nggak makan.”
Akhirnya, Abu Darda’ pun ikut makan bersama Salman.
Malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk shalat malam. Tapi Salman berkata,
“Tidur lagi saja.”
Abu Darda’ pun kembali tidur. Beberapa saat kemudian, dia bangun lagi. Salman berkata lagi,
“Sudah, tidur lagi.”
Abu Darda’ tidur lagi sampai akhirnya di penghujung malam, Salman berkata,
“Sekarang bangunlah.”
Lalu, mereka berdua shalat malam bersama.
Setelah selesai, Salman berkata kepada Abu Darda’,
“Ingat, Tuhanmu punya hak atasmu, dirimu sendiri punya hak atasmu, dan istrimu juga punya hak atasmu. Jadi, berikan hak kepada yang berhak.”
Keesokan harinya, Abu Darda’ menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kejadian itu. Nabi pun bersabda,
“Salman benar.” (HR. Bukhari)
__
Kita menggali sebuah kekuatan untuk membangun diri dari hadis ini, yaitu hidup yang seimbang. Muslim yang sukses adalah yang peka menangkap setiap hak yang menjadi tanggung jawabnya dan berusaha bersikap adil dan proposional menunaikan hak-hak itu. Seperti nasehat indah yang disampaikan Salman Al-Farisi kepada sahabat karibnya; Abu Darda’ -radhiyallahu’anhuma-,
فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Berikan hak kepada setiap yang berhak.”
Pola hidup yang seimbang amat ditekankan di dalam Islam, diantaranya juga disinggung di dalam ayat-ayat berikut:
قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At-Thalaq: 3)
Makna ayat ini adalah,
جعل لكل شيء وقتًا ومقدارًا، لا يتعداه ولا يقصر عنه
“Allah telah menetapkan waktu dan ukuran untuk setiap sesuatu, yang tidak bisa dilewati maupun dikurangi.” (Tafsir As-Sa’di)
Allah juga mengatakan,
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Di dalam hadis ini disinggung beberapa hak utama yang harus ditunaikan setiap muslim:
- Haknya Allah.
- Haknya diri.
- Haknya keluarga.
Haknya Allah untuk disembah dan diibadahi dengan ikhlas.
Haknya diri dengan memperhatikan hak kepada 4 hal yang menyusun seorang manusia: jasad, ruh, akal dan perasaan.
Haknya keluarga untuk diasuh, diayomi, dinafkahi, berinteraksi dll.
Masing-masing hak ini dapat ditunaikan dengan baik bila seorang membagi waktunya secara rapi; ada waktu untuk anda beribadah, ada waktu untuk anda menunaikan hak diri; waktu olahraga untuk menjaga kebugaran fisik, refresing, ada waktu anda mengenyangkan ruh dengan berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah, ada waktu anda harus belajar, membaca dan menghadiri majlis ilmu untuk menunaikan hak akal; sekaligus hak ruh juga, ada waktu untuk anda berinteraksi dengan orang lain untuk menunaikan hak perasaan anda.
Hadis tersebut menegaskan seorang muslim yang ideal dan sempurna, bukan yang berat pada urusan ibadah, namun ia abai dalam urusan dunia, hingga menelantarkan hak-hak makhluk di sekitarnya. Namun, muslim yang ideal dan sempurna adalah yang yang memperhatikan urusan akhiratnya, dan urusan dunianya, dunia dia perhatikan untuk memuluskan urusan akhiratnya.
Wallahul muwaffiq.
Referensi:
Al-‘Ajin, Ali bin Ibrahum (2021), Al-Arba’un At-Tatwiriyyah; 40 Haditsan fi Tatwir Az-Dzat wa Asbab An-Najah. Naqatech.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com