Bismillah…
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada situasi di mana harus melakukan perjalanan jauh atau safar. Islam sebagai agama yang penuh kemudahan, memberikan berbagai keringanan (rukhsah) bagi mereka yang sedang bepergian, seperti menjamak (menggabungkan) dan mengqashar (meringkas) shalat. Namun, ada aturan yang jelas tentang kapan keringanan ini boleh diterapkan. Terkadang muncul pertanyaan, apakah seseorang yang baru berniat bepergian, tetapi belum benar-benar meninggalkan kotanya, sudah diperbolehkan mengambil rukhsah safar? Atau bagaimana jika seseorang sudah menjamak shalat karena berniat safar, tetapi rencana perjalanan tersebut dibatalkan?
Untuk menjawab hal tersebut, mari kita simak penjelasan berikut yang diambil dari pandangan para ulama dan sumber-sumber terpercaya:
Seseorang yang berniat untuk melakukan perjalanan tidak boleh mengqashar, menjamak, atau membatalkan puasa hingga dia benar-benar meninggalkan area kampungnya. Jika dia telah keluar dari area kampungnya, barulah dia diperbolehkan untuk mengambil keringanan-keringanan safar (rukhsoh).
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Al-Mughni (2/191):
“Seseorang yang berniat safar tidak diperbolehkan mengqashar shalat hingga dia meninggalkan rumah-rumah di desanya dan menjadikan desa itu di belakangnya. Pendapat ini diikuti oleh Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, Ishaq, dan Abu Tsaur, serta sekelompok tabi’in.’
Diriwayatkan bahwa Atha’ dan Sulaiman bin Musa memperbolehkan qashar bagi seseorang di dalam kota jika dia sudah berniat untuk bepergian.
Juga diceritakan dari Al-Harits bin Abi Rabi’ah, bahwa dia berniat melakukan perjalanan, lalu dia shalat bersama orang-orang di rumahnya dengan dua rakaat. Di antara yang hadir adalah Al-Aswad bin Yazid dan beberapa sahabat Abdullah. Ubaid bin Jabr meriwayatkan:
كنت مع أبي بصرة الغفاري في سفينة من الفسطاط، في شهر رمضان، فدفع، ثم قرب غذاؤه، فلم يجاوز البيوت حتى دعا بالسفرة، ثم قال: اقترب. فقلت: ألست ترى البيوت؟ قال أبو بصرة: أترغب عن سنة رسول الله – صلى الله عليه وسلم -. فأكل
“Aku bersama Abu Bashrah Al-Ghifari di sebuah perahu dari Fustat, pada bulan Ramadhan. Dia mulai berlayar, lalu menyajikan makanan, namun belum jauh dari perkampungan, ia memanggil kami untuk makan.
Aku berkata, “Bukankah kita masih melihat rumah-rumah?”
“Apakah kamu mengabaikan sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-?” Jawab Abu Bashrah. Maka dia pun makan.’ (HR Abu Dawud)
Bagi kami, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة
Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat (jika kamu takut diserang orang kafir) (QS. An-Nisa: 101),
dan seseorang tidak dianggap “bepergian” sampai dia benar-benar meninggalkan kampungnya.
Juga diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau memulai qashar setelah keluar dari Madinah. Anas berkata:
صليت مع النبي – صلى الله عليه وسلم – الظهر بالمدينة أربعا، وبذي الحليفة ركعتين
“Aku shalat bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- shalat Dhuhur di Madinah dengan empat rakaat, dan di Dzul Hulaifah dengan dua rakaat.” (Muttafaq ‘alaih)
Adapun Abu Bashrah tidak makan hingga dia memulai perjalanannya. Pernyataannya ‘belum jauh dari perkampungan’ bermakna –Wallahu a’lam– bahwa dia belum benar-benar meninggalkan area perkampungan, karena Ubaid bertanya kepadanya, “Bukankah kita masih melihat rumah-rumah?”
Oleh karenanya, diperbolehkan bagi seseorang untuk mengqashar meskipun dia masih dekat dengan rumah-rumah.
Ibnu Mundzir berkata,
أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم، أن للذي يريد السفر أن يقصر الصلاة إذا خرج من بيوت القرية التي يخرج منها
“Ulama sepakat bahwa seseorang yang ingin bepergian diperbolehkan mengqashar shalat jika dia sudah keluar dari rumah-rumah di desa yang dia tinggalkan.”
Dari sini kita bisa memahami bahwa seorang yang melakukan perjalan jauh atau safar, mulai boleh menjamak, mengqashar dan mengambil keringan-keringan lainnya, saat ia telah berpisah dari kampungnya, tidak harus kotanya, cukup kampungnya saja. Saat itulah ia mulai disebut musafir. Namun jika seorang menjamak shalat sebelum meninggalkan kampungnya, misalnya sejak di rumahnya sebelum keluar untuk safar, ia sudah menjamak, maka jamak yang dilakukan tidak sah. Sebagaimana yang telah kami jelaskan, keringanan safar hanya diperbolehkan bagi mereka yang benar-benar telah memulai perjalanannya dan telah keluar dari area perkotaan tempat tinggalnya.
Coba baca-baca lagi tulisan ini ya.. “Sudah Jamak Shalat, Lalu Tidak Jadi Safar”
Wallahua’lam bis shawab.
Referensi:
Al-Munajjid, Muhammad Shalih-Islamqa. جمع الصلاتين جمع تقديم ثم ألغى السفر. Diakses dari https://islamqa.info/ar/answers/283999/%D8.. pada 09/10/2025.
Diitulis di waktu Dhuha, Bantul, 09/10/2025.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com