Ketegasan Ulama Hadis dalam Menjaga Amanah; Menilai Ayah, Sahabat, dan Lawan Mazhab dengan Keadilan
Bismillah….
Dalam dunia yang penuh konflik kepentingan, kadang kita temukan kebenaran menjadi bias. Tapi tidak bagi para ulama hadis. Mereka bukan hanya menulis sejarah; mereka menjaganya. Mereka tidak hanya mencatat ucapan Nabi ﷺ, mereka membersihkannya dari kepalsuan, bahkan jika itu berarti harus berkata jujur tentang ayah mereka sendiri.
Mereka tidak mendahulukan perasaan atas kebenaran.
Tidak mendahulukan loyalitas atas kejujuran.
Dan yang lebih penting, mereka tidak mempermainkan agama hanya demi menjaga nama atau relasi.
Keadilan di Atas Segalanya, Meski yang Dinilai adalah Ayah Sendiri
Bayangkan seseorang berkata, “Ayah saya lemah dalam hadis.”
Bukan karena ia membenci ayahnya, tapi karena Allah lebih ia cintai daripada siapa pun.
Itulah yang dilakukan Imam Ali bin al-Madini, seorang tokoh besar di antara ulama hadis, guru daripada Imam Bukhari. Ketika ditanya tentang kualitas hadis ayahnya, ia tidak menghindar, tidak membela, dan tidak berputar-putar. Ia menunduk… lalu berkata:
هذا هو الدين، أبي ضعيف
“Ini adalah agama. Ayahku dhaif (lemah dalam hadis).”
(Al-Majruhin, Ibn Hibban 2/15)
Al-Khatib al-Baghdadi juga menegaskan:
فليس أحد من أهل الحديث يحابي في الحديث أباه ، ولا أخاه ، ولا ولده . وهذا علي بن عبد الله المديني ، وهو إمام الحديث في عصره ، لا يروى عنه حرف في تقوية أبيه بل يروى عنه ضد ذلك
“Tak satu pun dari ahli hadis yang memihak dalam hadis kepada ayah, anak, atau saudaranya. Inilah Ali bin al-Madini, tokoh utama di zamannya, tidak meriwayatkan satu huruf pun yang menguatkan ayahnya. Bahkan, ia meriwayatkan sebaliknya.” (Syaraf Ash-hab al-Hadits, hlm. 41)
Bukan Hanya Ayah, Sahabat dan Saudara Sendiri pun Dinilai Objektif
Yahya bin Ma’in, ulama hadis yang zuhud dan kuat hafalan, juga melakukan hal serupa. Ia berkata tentang sahabatnya Muhammad bin Sulaim al-Qadhi:
هو والله صاحبنا ، وهو لنا محب ، ولكن ليس فيه حيلة البتة ، وما رأيت أحداً قط يشير بالكتاب عنه ولا يرشد إليه
“Dia demi Allah sahabat kami, mencintai kami. Tapi tidak ada harapan padanya. Aku tidak pernah melihat orang yang menyarankan mengambil hadis darinya.” (Tarikh Baghdad 5/325)
Bahkan Jarir bin Abdil Hamid pun tak ragu untuk berkata jujur tentang saudaranya sendiri:
لا يكتب عنه ؛ فإنه يكذب في كلام الناس
“Jangan tulis hadis darinya. Ia berdusta dalam urusan manusia.” (Al-Jarh wa at-Ta’dil, 2/289)
Mereka tahu bahwa menggadaikan kebenaran demi hubungan darah atau persahabatan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Rasulullah ﷺ.
Bahkan terhadap Lawan dan Orang yang Menyakiti Mereka
Tidak hanya orang dekat. Bahkan terhadap mereka yang menyakiti, para ulama hadis tetap adil.
Imam al-Bukhari, misalnya, tetap meriwayatkan hadis dari gurunya, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhali, meskipun ia pernah dijatuhkan dan dijauhi karena gurunya tersebut. Namun, rasa sakit pribadi tidak menjadikan al-Bukhari menutup mata dari kebenaran.
Mereka meyakini bahwa amanah ilmu lebih besar daripada urusan pribadi.
Mereka Adil, Bahkan kepada yang Beda Mazhab dan Keyakinan
Mereka tidak menutup pintu kebaikan hanya karena berbeda paham.
Yahya bin Ma’in pernah ditanya tentang seorang perawi yang dikenal sebagai Syiah. Ia menjawab:
وشيعي ثقة ، وقدري ثقة
“Syiah, tapi tsiqah (terpercaya), yang ini Qodari (menyimpang dalam perkara iman kepada takdir), tapi dia tsiqah.”
(Tahdzib al-Kamal, 10/414)
Ibnu Khuzaymah dalam Shahih-nya berkata tentang ‘Abbad bin Ya‘qub ar-Rawajini, seorang syiah fanatik:
حدثنا الثقة في روايته المتهم في دينه عباد بن يعقوب.
“‘Abbad bin Ya’qub tsiqah dalam riwayatnya, walau tertuduh menyimpang dalam agamanya.”
(Shahih Ibn Khuzaymah, 2/376)
Ini bukan berarti mereka meremehkan kesesatan atau membenarkan bid’ah. Tapi dalam urusan penilaian hadis, mereka tetap berpegang pada kejujuran dan integritas ilmiah. Mereka tidak mencampur aduk antara agama dan ego pribadi.
Penutup: Belajar dari Teladan Ulama Hadis
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan jangan sampai kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa...” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Mereka hidup dengan ayat ini.
Mereka mengajar kita bahwa agama ini tidak bisa dijaga dengan loyalitas buta, tidak bisa diwariskan dengan fanatisme, dan tidak bisa ditegakkan dengan pembelaan terhadap orang dekat.
Mereka hidup untuk membela kebenaran, bahkan ketika itu menyakitkan.
Mereka mati dalam kemuliaan, karena telah menjaga warisan Rasulullah ﷺ dengan kejujuran yang tulus.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori Lc., M.Pd.
Artikel: Remajaislam.com