Ada yang enggan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar karena beralasan dengan ayat ini:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ عَلَيۡكُمۡ أَنفُسَكُمۡۖ لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا ٱهۡتَدَيۡتُمۡۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah diri kalian; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakan kalian apabila kaliantelah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kalian semua akan kembali, kemudian Dia akan menerangkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan. (Surat Al-Ma’idah: 105)
Ada yang memahami bahwa kalau kita sudah hijrah maka kekeliruan orang yang belum hijrah atau belum bertaubat tidak akan membahayakan iman kita, sehingga tidak perlu beramar ma’ruf nahi mungkar.
Kesalahpahaman seperti ini sebenarnya adalah hal yang klasik. Pernah terjadi di masa sahabat Nabi -radhiyallahu’anhum-, kemudian diluruskan oleh sahabat Abu Bakr As-Shiddiq -radhiyallahu’anhu-. Sebagaimana termaktub di dalam riwayat Imam Ahmad, penulis kitab-kitab sunan (hadis), At-Thobari dan yang lainnya, dengan sanad yang Shahih, dari Abu Bakr As-Shiddiq -radhiyallahu’anhu-, beliau pernah menyampaikan ceramah di atas mimbar,
يأيها الناس، إنكم تقرؤون هذه الآية على غير موضعها (لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا ٱهۡتَدَيۡتُمۡۚ) وإن الناس إذا رأوا الظالم فلم يأخذوا على يديه، عمهم الله بعقابه
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian memahami ayat ini “orang yang sesat itu tidak akan membahayakan kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk”. Sehingga ada orang-orang yang bila melihat kezoliman dia biarkan, maka orang-orang seperti itu tercakup di dalam hukuman Allah.”
Agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami ayat, mari kita baca tafsir para ulama tentang makna ayat di atas:
Penafsiran pertama, “Jagalah diri kalian” maksudnya dengan melalukan amar ma’ruf nahi mungkar. Bila mereka tidak menerima maka “orang yang sesat itu tidak akan membahayakan kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk”. Imam Thabari menerangkan pemaknaan ini bersumber dari sejumlah sahabat. (Tafsir At-Thobari 9/43)
Seperti penafsiran dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-,
ليس هذا بزمانها قولوها ما قبلت منكم فإذا ردت عليكم فعليكم أنفسكم
“Bukan ini zamannya, sampaikan nasehat-nasehat yang bisa diterima. Jika ternyata ditolak, maka jagalah diri kalian.” (Tafsir At-Thobari 9/43)
“Ini bukan zamannya” dalam perkataan Abdullah bin Mas’ud di atas maknanya adalah ayat di atas tidak terjadi di zaman sahabat. Karena di zaman mereka, orang-orang mudah beramar ma’ruf nahi mungkar dan yang dinsehati mudah menerima nasehat. Ayat ini berlaku pada orang-orang setelah geneari sahabat, terutama generasi kita saat ini. Sebagaimana makna ini disampaikan oleh sahabat Abdullah bin Umar di saat menjelaskan ayat di atas,
هذه الأية لأقوام يجيئون من بعدنا إن قالوا لم يقبل منهم
“Ayat ini berlaku untuk kaum yang datang setelah zaman kami (zaman sahabat), zaman di saat orang-orang menyampaikan nsehat namun tidak diterima.” (Tafsir At-Thobari 9/43)
Penafsiran kedua, “orang yang sesat itu tidak akan membahayakan kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk” maksudnya setelah kalian mendapat petunjuk dengan kalian melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, maka kesesatan orang-orang yang tersesat tidak akan membahayakan kalian.
Pada penafsiran yang kedua ini, dijelaskan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar adalah bagian dari hidayah yang disebut pada ayat.
Sumber pemaknaan ini adalah penjelasan sahabat Hudzaifah -radhiyallahu’anhu- ketika memaknai ayat “orang yang sesat itu tidak akan membahayakan kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk” kata beliau maksud ayat ini adalah,
إذا أمرتم ونهيتم
“Jika kalian mendapat petunjuk maksudnya jika kalian beramar ma’ruf nahi mungkar.” (Tafsir At-Thobari 9/51)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- menerangkan lebih lanjut makna ayat di atas,
والاهتداء إنما يتم بأداء الواجب فإذا قام المسلم بما يجب عليه من الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر كما قام بغيره من الواجبات لم يضره ضلال الضال وذلك يكون تارة بالقلب وتارة باللسان وتارة باليد
“Petunjuk diperoleh dengan menunaikan kewajiban. Bila seorang muslim melakukan kewajibannya beramar ma’ruf nahi mungkar, sebagaiamana dia lakukan kewajiban lainnya, maka kesesatan orang yang sesat tak akan membahayakannya. Hak tersebut; yaitu amar ma’ruf nahi mungkar kadang dilakukan dengan hati, kadang dengan lisan dan kadang dengan tangan.” (Al-Istiqomah 2/212)
Dua penafsiran di atas hampir mirip. Namun penafsiran kedua lebih kuat, lebih sesuai dengan konteks ayat. Karena yang namanya hidayah tidak mungkin diraih kecuali dengan istiqomah melakukan syariat. Diantaranya adalah beramar ma’ruf nahi mungkar. Siapa yang tidak beramar ma’ruf nahi mungkar dia bukan tergolong orang yang mendapat petunjuk.
Syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqiti -rahimahullah- menyampaikan kesimpulan setelah memaparkan perbedaan penafsiran para ulama terhadap ayat di atas,
فمن العلماء من قال: إذا اهتديتم، أي: أمرتم فلم يسمع منكم، ومنهم من قال: يدخل الأمر بالمعروف في المراد بالاهتداء في الآية، وهو ظاهر جدا، ولا ينبغي العدول عنه لمنصف، ومما يدل على أن تارك الأمر بالمعروف غير مهتد أن الله تعالى أقسم أنه في خسر في قوله تعالى: ﴿وَالْعَصْر ) إنَّ الإِسنَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ امَنُوا وَعَمِلُوا الصَّلِحَتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّيرِ ) [العصر ١-٣)، فالحق وجوب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، وبعد أداء الواجب لا يضر الأآمر ضلال من ضل
“Ada ulama yang mengatakan “bila kalian mendapatkan petunjuk” maksudnya bila kalian telah menyampaikan nasehat namun tidak didengar. Ada yang lain mengatakan “amar ma’ruf nahi mungkar masuk ke dalam petunjuk yang disampaikan di ayat. Makna ini sangat jelas dimaksudkan oleh ayat. Tak sepatutnya berpaling dari amar ma’ruf nahi mungkar. Diantara dalil bahwa orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai orang yang tidak mendapat petunjuk adalah Allah ta’ala bersumpah bahwa orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar itu bakalan merugi, di dalam firmanNya, “Demi Waktu. Sesungguhnya seluruh manusia itu merugi. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal sholih, saling memberi nasehat untuk istikomah di dalam kebaikan, dan saling menasehati untuk bersabar.” (Al-Ashr: 1-3). Jadi, yang tepat adalah amar ma’ruf nahi mungkar hukumnya wajib. Setelah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar barulah berlaku kesesatan orang yang sesat tak akan membahayakan.” (Adwa’ Al-Bayan 1/459-460)
Kedua penafsiran para ulama di atas ternyata tak ada yang sejalan dengan keyakinan bahwa ayat di atas menjadi dalil tidak mengapa meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar. Bahkan ternyata ayat di atas menunjukkan perintah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana dijelaskan dalam pendapat ulama yang kami nilai kuat di atas (penafsiran kedua).
Wallahu a’lam bis showab.
Tegalwaton, Semarang, 29 Jumadas Tsani 1444 H.
Referensi:
- Ar-Ruhaili, Ibrahim bin Amir. Manhaj Ahlis Sunnah fil Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar. Dauroh Syar’iyyah ke 7, Ponpes Imam Bukhari Solo.
Penulis : Ahmad Anshori
Artikel : RemajaIslam.com