Merdeka Sepanjang Waktu
Bismillah …
Delapan puluh tahun yang lalu, bangsa ini bersatu padu mengusir penjajah. Mereka yang berjuang kala itu tak hanya berbekal senjata seadanya, tetapi juga keberanian, keyakinan, dan doa yang tak pernah putus. Mereka mempertaruhkan segalanya agar anak cucunya bisa menghirup udara kebebasan. Dan benar, kita pun hari ini bisa berdiri tegak, mengibarkan bendera, menyanyikan lagu kebangsaan, dengan hati bergetar menyebut satu kata yang penuh makna: merdeka.
Namun, adakah kita menyadari bahwa merdeka yang paling sulit diraih bukanlah merdeka dari penjajah asing?
Justru yang paling berat adalah merdeka dari penjajahan dalam diri penjajahan hawa nafsu, jebakan lingkaran setan, dan belenggu dosa yang mengekang jiwa.
Kita sering merasa bebas, padahal masih diperbudak oleh keinginan yang tak pernah puas. Kita merasa merdeka, padahal hati sedang dipasung oleh syahwat yang menuntut tanpa henti. Ada yang terikat utang karena gaya hidup. Ada yang terjerat kecanduan hiburan tanpa ujung. Ada pula yang dikuasai amarah, iri, dan dengki yang membakar hati. Semua itu membuat hidup terasa sesak, menekan, dan merenggut kebahagiaan hakiki.
Saudaraku, mari kita renungkan ayat ini,
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka jauhilah itu agar kalian beruntung.” (QS. Al-Maidah: 90)
Ayat ini menegaskan bahwa keberuntungan sejati tak akan pernah diraih kecuali dengan menundukkan nafsu untuk meninggalkan semua yang diharamkan Allah. Itulah mengapa setelah Allah menerangkan bahwa Khamr dan judi sebagai perbuatan setan, di akhir ayatnya Allah menyatakan alasannya, “Supaya kalian beruntung”. Artinya, dosa-dosa itu meskipun tampak menyenangkan syahwat, sejatinya jalan yang pasti membawa kepada kehinaan dan kesempitan hidup. Tinggalkanlah supaya hidupmu lapang dan bahagia.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di -rahimahullah- menerangkan,
فإن الفلاح لا يتم إلا بترك ما حرم الله، خصوصا هذه الفواحش المذكورة، وهي الخمر وهي: كل ما خامر العقل أي: غطاه بسكره، والميسر، وهو: جميع المغالبات التي فيها عوض من الجانبين، كالمراهنة ونحوه
“Keberuntungan sejati tidak akan tercapai kecuali dengan meninggalkan segala yang diharamkan Allah, khususnya perbuatan-perbuatan keji yang telah disebutkan. Di antaranya adalah khamr, yakni segala sesuatu yang memabukkan dan menutupi akal dengan efek mabuknya; dan maysir, yaitu segala bentuk permainan atau pertaruhan yang melibatkan hadiah atau imbalan dari kedua belah pihak, seperti taruhan dan sejenisnya.”
Allah kemudian menyingkap rahasia besarnya:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ العَدَاوَةَ وَالبَغْضَاءَ فِي الخَمْرِ وَالمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنتَهُونَ
“Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui minuman keras dan judi, serta menghalangi kalian dari mengingat Allah dan salat. Maka tidakkah kalian mau berhenti?” (QS. Al-Maidah: 91)
Lihatlah, betapa jelas ayat ini menggambarkan hakikatnya. Dosa-dosa yang terlihat menyenangkan itu sejatinya adalah jebakan. Setan menjanjikan kesenangan, tetapi menghadiahkan permusuhan. Ia membisikkan kebebasan, padahal menjerat kita semakin dalam dalam perbudakan.
Jiwa sebagai Musuh
Ibnul Qayyim rahimahullah menggambarkan keadaan jiwa kita dengan sangat tajam:
النفس كالعدوِّ إن عرفت صولة الجدِّ منك استأسرت لك، وإن أنست عنك المهانة أسرتك، امنعها ملذوذ مُباحاتها ليقع الصلح على ترك الحرام، فإذا ضجَّت لطلبِ المباح: ﴿ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً ﴾ [محمد: 4]
“Jiwa itu laksana musuh; jika ia mengetahui kesungguhanmu yang tegas, ia akan tunduk padamu. Namun jika ia mencium adanya kelemahan dan kehinaan darimu, ia akan memperbudakmu. Maka tahanlah ia dari kenikmatan-kenikmatan yang mubah (yang dibolehkan), agar tercipta perdamaian dalam bentuk meninggalkan yang haram. Namun jika ia mengeluh dan menuntut hal-hal yang mubah, maka,
فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً
“Setelah itu (bebaskanlah dia) secara cuma-cuma atau dengan tebusan.” (QS. Muhammad: 4).”
Kalimat ini menusuk hati. Jiwa kita memang tak ubahnya musuh yang cerdik. Jika kita tegas, ia akan tunduk. Tapi jika kita lemah, ia akan menguasai. Melatih diri untuk menahan bahkan hal-hal yang mubah sesekali adalah cara agar jiwa kita terdidik. Dengan begitu, kita lebih mudah meninggalkan yang haram.
Jihad yang Terbesar
Rasulullah ﷺ bersabda:
المجاهد من جاهد نفسه في طاعة الله
“Seorang mujahid adalah orang yang berjihad melawan dirinya sendiri dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi; ia berkata: hasan sahih. Disahihkan juga oleh Ibn Hibban).
Inilah jihad terbesar melawan diri sendiri agar tunduk pada ketaatan. Karena musuh terdekat kita bukanlah orang lain, melainkan jiwa yang selalu mengajak pada keburukan.
Merdeka sejati adalah ketika kita mampu menundukkan jiwa yang liar, bukan membiarkannya menjadi tuan atas kita. Merdeka adalah saat hati kita lepas dari genggaman hawa nafsu. Merdeka adalah ketika kita bisa berkata cukup meski dunia menggoda dengan gemerlapnya. Merdeka adalah ketika kita memilih ketaatan, meski syahwat terus membisikkan rayuan.
Penutup
Inilah kemerdekaan yang tak lekang oleh waktu. Kemerdekaan yang tak bergantung pada situasi politik, ekonomi, atau keadaan bangsa. Bahkan meski dunia penuh tekanan, hati seorang mukmin tetap lapang karena ia tahu bahwa kebahagiaan bukanlah pada menuruti nafsu, melainkan pada tunduknya diri kepada Allah.
Karena merdeka yang hakiki bukan sekadar 80 tahun yang lalu, tetapi sepanjang hidup kita. Dan hanya mereka yang merdeka dari belenggu dosa, nafsu dan lingkaran setan yang akan benar-benar merasakan nikmatnya menjadi manusia yang bahagia dan beruntung.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori, Lc., M.Pd.
Artikel: Remajaislam.com