Baca part 1 dulu yuk: Panduan Ta’dib #1
Bagaimana proses ta’dib?
Ta’dib tidak identik dengan pukulan, karena ta’dib sejatinya adalah pendisiplinan yang prosesnya melalui beberapa tahapan.
Ada nasehat → Al-Hajr (mendiamkan dengan pisah tempat tidur) → pukulan.
Urutan ini telah dijelaskan di dalam ayat:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ
“Istri-istri yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, kemudian pukullah mereka.
Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Abdulaziz bin Baz -rahimahullah- dalam sebuah fatwanya:
فإن الرسول ﷺ أراد بذلك أن لا يسارعوا بالضرب، وليس من الصفات الخيرة المسارعة إلى الضرب، بل الضرب آخر
الطب، الضرب يكون هو آخر الطب، قبله الهجر، وقبله الوعظ.
“Yang dimaksud oleh Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- dalam sabdanya bahwa laki-laki yang baik bukan yang memukul istrinya, maksudnya pesan kepada para suami agar tidak mudah memukul istrinya. Memukul wanita bukanlah sifat laki-laki yang baik. Bahkan pukulan adalah obat yang terakhir, sebelumnya ada proses Al-Hajr, sebelum itu memberikan nasehat terlebih dahulu.”
Apa batasan ta’dib?
Berikut batasan-batasan ta’dib yang penulis simpulkan dari bernagai penjelasan ulama:
- Ta’dib harus dilakukan melalui tahapan yang telah diterangkan dalam ayat (Surat An-Nisa: 34), yaitu nasehat, kemudian al-hajr, lalu langkah terakhir adalah pemukulan.
- Saat istri telah taat atau meminta maaf kepada suami di setiap tahapan ta’dib, maka suami tidak boleh bersikap melampui batas dengan memperpanjang ta’dib, atau melanjutkan ta’dib ke tahap berikutnya. Misalnya istri sudah menyadari kesalahan dan meminta maaf saat tahap memberi nasehat, maka suami harus bersikap bijak menerima dengan lapang dada, bukan malah melanjutkan ke tahap al-hajr apalagi memukul. Atau istri telah minta maaf saat tahap al-hajr dilakukan, maka suami tak boleh berbuat dzalim dengan memperpanjang masa al-hajr, atau memukul istri. Karena Allah ta’ala yang memerintahkan demikian,
فإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا ۗ
“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa: 34)
Kata Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- menafsirkan penutup ayat ini “Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
تهديد للرجال إذا بغوا على النساء من غير سبب ، فإن الله العلي الكبير وليهن وهو منتقم ممن ظلمهن وبغى عليهن .
“Kalimat penutup ayat ini mengandung ancaman kepada para suami, untu tidak berbuat melampui batas kepada istri dengan melakukan ta’dib tanpa sebab. Ingatlah bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Tinggi, Maha Besae, Allah adalah walinya para wanita, Dia akan murka kepada siapa saja yang berbuat dzalim dan bersikap melampui batas kepada kaum wanita. (Tafsir Ibnu Katsir).
- Batasan ta’dib dengan al-hajr:Mengenai cara menghajr, para ulama memberikan beberapa cara sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Jauzi:
- Tidak berhubungan intim terutama pada saat istri butuh
- Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim, (maksimal dilakukan selama tiga hari, berdasarkan pendapat jumhur ulama, pen)
- Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
- Pisah ranjang (Zaadul Masiir, 2: 76 dalam rumayshocom).
Silahkan memilih dari empat alternatif ini pilihan yang diduga kuat dapat menjerakan istri yang nusyuz.
- Batasan ta’dib dengan memukul: (1) Saat ta’dib terpaksa harus sampai di tahap memukul, maka pukulan tidak boleh dilakukan untuk menyakiti fisik istri. Karena Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- memerintahkan,
واضربوهن ضربًا غير مُبَرِّح
“Setelah dilakukan nasehat dan al-hajr tidak juga berubah, maka pukulah dengan pukulan yang tidak menyakitkan.”
Maksud tidak menyakitkan adalah, tidak membekas pada fisik istri, tidak mencederai tubuh istri. (Tafsir Ibnu Katsir).
(2) Kemudian, jumlah pukulan tidak boleh lebih dari 10 pukulan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْلِدُوا فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ
“Janganlah mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam had dari aturan Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).
(3) Tidak boleh memukul wajah istri. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ
“Janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
‘Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ قَطُّ
وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah”. (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
(4) Selanjutnya yang harus diperhatikan dalam pemukulan, langkah ini tidak boleh dilakukan kecuali di saat darurat. Dilakukan setelah kedua proses sebelumnya telah ditempuh sebaik mungkin. Sehingga sampai pada kesimpulan tak ada obat lain yang bisa menyadarkan kesalahan istri kecuali dengan pemukulan, dengan catatan, pemukulan tidak boleh dilakukan bila diyakini atau disangka kuat akan berdampak pada mudarat yang lebih besar, bukan malah menyadarkan namun malah memperuncing masalah, seperti diduga kuat akan menyebabkab percerairan, tersebarnya kabar keluar rumah hingga menimbulkan kesalahpahaman keluarga.
Sekian…
Wallahu waliyyut taufiq…
Referensi:
Tafsir Ibnu Katsir.
Fatawa Islamweb. (1438H/2017M). مسائل في تأديب الزوجة وهجرها وعلاج نشوزها fatwa no. 347842. Diakses pada 30/10/2023, dari https://www.islamweb.net/ar/fatwa/347842/.
Fatawa Islamweb. (1422H/2001M). النشوز : استخفاف المرأة بزوجها وعصيانه fatwa no. 1103. Diakses pada 30/10/2023, dari https://www.islamweb.net/ar/fatwa/1103/%D8%A7%D9.
As-Syinqiti, Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar. Syarah Zad Al-mustaqni’ (Maktabah Syamilah). Diakses pada 30/10/2023, dari https://shamela.ws/book/7696/4919.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com