Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyarankan pada Fatimah binti Qais radhiyallahu ‘anha untuk menikah dengan Usamah, dibanding dengan dua laki-laki yang telah melamarnya yaitu Mu’awiyah dan Abu Jahm. Beliau berkata pada Fatimah,
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ ».فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ « انْكِحِى أُسَامَةَ ». فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ بِهِ.
“Abu Jahm itu biasa memukul istri. Sedangkan Mu’awiyah itu miskin (tidak punya banyak harta). Nikahlah saja dengan Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Aku awalnya enggan.” Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengatakan, “Nikahlah dengan Usamah.” Akhirnya, aku memilih menikah dengan Usamah, lantas Allah mengaruniakan dengan pernikahan tersebut kebaikan. Aku pun berbahagia dengan pernikahan tersebut. (HR. Muslim, no. 1480).
Dalam riwayat Muslim, disebutkan,
سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ تَقُولُ إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلاَثًا فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سُكْنَى وَلاَ نَفَقَةً قَالَتْ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِى ».
فَآذَنْتُهُ فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ وَأَبُو جَهْمٍ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ لاَ مَالَ لَهُ وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ ». فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا أُسَامَةُ أُسَامَةُ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طَاعَةُ اللَّهِ وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ ». قَالَتْ فَتَزَوَّجْتُهُ فَاغْتَبَطْتُ.
“Suami Fatimah binti Qais dahulu telah mentalaknya tiga kali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadikan bagi Fatimah tempat tinggal dan tidak mendapatkan nafkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata pada Fatimah, “Jika engkau telah halal untuk dinikahi (setelah melewati masa ‘iddah), sampaikanlah kabar tersebut padaku.”
Fatimah pun memberitahu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika telah selesai ‘iddahnya), bahwasanya ia telah dikhitbah (dilamar) oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm, juga oleh Usamah bin Zaid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah itu miskin, tidak punya harta. Sedangkan Abu Jahm biasa memukul istrinya. Nikahlah saja dengan Usamah bin Zaid.” Lantas Fatimah berisyarat dengan tangannya sambil berkata, “Hah … Usamah, Usamah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Taat Allah dan Rasul-Nya itu baik untukmu.” Fatimah berkata, “Aku pun memilih menikah dengan Usamah, akhirnya aku merasakan kebahagiaan.” (HR. Muslim, no. 1480)
وفي روايةٍ لمسلمٍ: «وأما أبو الجَهْمِ فضَرَّابٌ للنساءِ»، وهو تفسيرٌ لروايةِ: «لا يَضَعُ العَصَا عن عاتِقِهِ»، وقيلَ معناه: كَثِيرُ الأسفارِ.
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Adapun Abul Jahm adalah seorang yang suka memukul istrinya.” Lafaz ini sebagai penafsiran riwayat di atas: “Tidak suka meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan dikatakan pula bahwa artinya: “Suka pergi jauh (katsirul asfaar).”
Baca juga: Cinta Ditolak Karena Miskin
Ada pelajaran penting dari hadits di atas yang disampaikan oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly.
Boleh saja menikah dengan laki-laki yang tidak setara secara strata sosial (sekufu) apabila wanita tersebut menyenanginya. Hal ini jelas sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Nikahlah dengan Usamah bin Zaid!” Fathimah binti Qais pun menikahinya. Padahal, Fathimah binti Qais seorang perempuan dari suku Quraisy dari Bani Fihri, sementara Usamah hanyalah seorang mantan budak. Hadits ini menunjukkan hukum tersebut, bahkan dalil inilah yang paling kuat dalam masalah tersebut, meskipun kesetaraan (kafa’ah) dalam masalah agama adalah parameter yang paling baik untuk dijadikan pertimbangan dan pegangan.mj
Kesimpulan dari hadits dan penjelasan di atas adalah bahwa memilih pasangan hidup tidak selalu harus mempertimbangkan kesetaraan atau kafa’ah dalam strata sosial, asalkan ada kecocokan dan kebaikan dalam agama. Hal ini terlihat dari anjuran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, meskipun secara sosial mereka berbeda. Hadits ini menekankan bahwa pertimbangan agama adalah yang paling utama dalam memilih pasangan, karena itulah yang akan membawa kebahagiaan dan kebaikan dalam pernikahan. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah pilihan terbaik untuk meraih keberkahan dalam rumah tangga.
Pelajaran penting lainnya dari hadits di atas:
- Dibolehkan mendengarkan perkataan laki-laki atau perempuan yang ingin meminta fatwa atau menyampaikan kebutuhan serupa, meskipun mereka bukan mahram.
- Tidak ada larangan untuk meminang wanita yang sudah dilamar orang lain, selama wanita tersebut belum memberikan jawaban atas lamaran pertama.
- Menyebutkan kekurangan seseorang tanpa sepengetahuannya diperbolehkan jika bertujuan untuk memberikan nasihat atau maslahat tertentu. Tindakan ini tidak dianggap ghibah yang diharamkan, sebab orang yang dimintai pendapat wajib menyampaikan hal yang benar. Selama maksudnya bukan untuk mencela, melampiaskan emosi, atau menyakiti, hal ini dapat dibenarkan.
- Membimbing seseorang ke arah yang baik sangat dianjurkan meskipun orang tersebut merasa tidak menyukainya, karena hal itu dilakukan demi kemaslahatan.
- Nasihat dari orang-orang mulia perlu diterima dengan baik dan dijadikan tuntunan, karena biasanya memberikan dampak yang positif dan bermanfaat.
- Dianjurkan mengutamakan calon pasangan yang memiliki kelapangan rezeki untuk keluarga, sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang lebih sejahtera.
- Dalam memilih pasangan, lebih baik mempertimbangkan laki-laki yang tidak suka memukul istri atau yang tidak sering bepergian jauh. Penafsiran hadits menjelaskan bahwa ungkapan “tidak suka meletakkan tongkat dari pundaknya” mengacu pada kebiasaan sering bepergian.
- Seorang wanita wajib menjaga dirinya dari pandangan laki-laki jika keberadaannya dapat memancing perhatian. Dalam hal ini, laki-laki juga dilarang memandang wanita tersebut. Larangan ini merujuk pada perintah Rasulullah ﷺ kepada Fathimah agar tinggal di rumah Ibnu Ummi Maktum karena dia seorang laki-laki buta.
- Wanita salehah lebih utama untuk berdiam di rumah, tetapi tidak ada larangan bagi laki-laki untuk berbincang dengannya selama tidak terjadi khalwat. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah ﷺ kepada Fathimah untuk ber’iddah di rumah Ummu Syarik, kemudian menyarankannya pindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum karena pertimbangan tertentu.
- Rasulullah ﷺ membolehkan Fathimah bintu Qais ber’iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum karena dia seorang laki-laki buta yang tidak bisa melihat Fathimah. Adapun hadits yang menyebutkan larangan wanita berhijab di depan laki-laki buta dengan alasan “bukankah kalian juga bisa melihatnya” dinilai dha’if.
- Ketika dimintai pendapat, seseorang diperbolehkan memberikan saran yang berbeda dari objek pembicaraan. Hal ini ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺ yang menyarankan Fathimah untuk menikah dengan Usamah, meskipun Fathimah hanya menyebutkan Abul Jahm dan Mu’awiyah sebagai pilihannya.
- Menyampaikan sifat secara berlebihan atau hiperbolis dibolehkan selama tidak dimaksudkan untuk berbohong, tetapi untuk menegaskan makna. Sebagai contoh, Rasulullah ﷺ menggambarkan Mu’awiyah dengan kondisi miskin dan Abul Jahm yang sering memukul, meskipun mereka memiliki sifat lain dalam kehidupan mereka.
- Pernyataan Rasulullah ﷺ bahwa Abul Jahm “tidak suka meletakkan tongkat dari pundaknya” tidak serta-merta menunjukkan aib. Namun, hal itu menjadi aib jika kebiasaan tersebut dilakukan tanpa alasan yang benar. Syariat memberikan izin memukul istri dengan syarat tertentu yang harus diperhatikan agar tidak melampaui batas. Syarat tersebut adalah:
- Tidak boleh memukul di wajah.
- Memukul dengan pukulan yang tidak membekas (ghairu mubarrihin).
- Tujuan memukul adalah untuk mendidik.
- Memukul dengan alat yang ringan.
- Memastikan pukulan memberi manfaat.
- Tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan.
- Tidak boleh memukul jika istri telah menaati suami.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan makna pemukulan yang tidak menyakitkan (ghairu mubarrih),
السِّوَاكُ وَشِبْهُهُ، يَضْرِبُهَا بِهِ
“Memukul dengan siwak atau yang serupa dengannya.” (Tafsir Ibnu Jarir, 8:314).
Kesimpulan
Hadits tentang anjuran Nabi Muhammad ﷺ kepada Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid mengajarkan pentingnya mengutamakan agama sebagai kriteria utama dalam memilih pasangan hidup. Meskipun terdapat perbedaan strata sosial, kebahagiaan dan kebaikan pernikahan dapat diraih jika agama menjadi landasannya. Pelajaran lainnya mencakup pentingnya nasihat, menjaga adab dalam hubungan sosial, dan perlakuan baik terhadap pasangan.
Referensi utama:
Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
–
Ditulis pada Rabu pagi, 25 Jumadal Ula 1446 H, 27 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel RemajaIslam.Com