Bismillah…
Syariat tidak menerangkan batasan minimal daripada durasi waktu I’tikaf. Sehingga untuk mengetahui batasan minimalnya dikembalikan kepada budaya (urf). Karena agama mempersilahkan budaya untuk menerangkan hukum-hukumnya yang disampaikan secara global oleh agama. Sebagaimana diterangkan oleh Syaikh As Sa’di rahimahullah dalam nadzom Qawaid fiqhiyah,
وَالْعُرْفُ مَعْمُوْلٌ بِهِ إِذَا وَرَدَ * حُكْمٌ مِنَ الشَّرْعِ الشَّرِيْفِ لَمْ يُحَدَّ
Urf diberlakukan kepada hukum yang syariat tidak merinci batasan-batasannya.
Sehingga selama budaya telah menganggap bahwa sebentar seorang berada di masjid itu bisa dinilai sebagai berdiam di masjid atau beri’tikaf, maka itulah batasan minimalnya.
Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- menerangkan,
كل اقامة في مسجد لله تعالى بنية التقرب اليه اعتكاف فالاعتكاف يقع على ما ذكرنا مما قل من الأزمان أو كثر اذا لم يخص القرآن والسنة عدداً من عدد ولا وقتاً من وقت
“Setiap aktivitas bertempat atau berdiam diri di masjid dengan niat beribadah kepada Allah itulah yang disebut I’tikaf. I’tikaf sebagaimana yang telah kami jelaskan, bisa dilakukan dalam durasi yang panjang atau singkat. Karena Al-Quran dan Hadis tidak menjelaskan durasi waktu tertentu untuk ibadah I’tikaf.” (Al-Muhalla, butir fatwa no. 624)
Kesimpulan ini didukung oleh sebuah riwayat dari Atho’ bin Abi Robah, dari sahabat Ya’la bin Umayyah -radhiyallahu’anhu-, beliau berkata,
إني لأمكث في المسجد الساعة ، وما أمكث إلا لأعتكف
“Tidaklah aku berdiam di masjid walau sebentar, kecuali aku niatkan untuk I’tikaf.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, dinukil Imam Ibnu Hazm di dalam Kitab Al Muhalla butir fatwa no. 624).
Wallahua’lam bis showab.
Penulis : Ahmad Anshori
Artikel : RemajaIslam.com