Bismillah….
“Dan dunia pun tak menemukan tempat di hati kami…”
Di suatu sore, Khabbab bin Al-Arat duduk di bawah naungan dinding yang sedang ia bangun sendiri. Ia bukan orang sembarangan; ia sahabat Rasulullah ﷺ, seorang yang disiksa karena keimanannya, punggungnya pernah dipanggang bara. Tapi lihatlah dia kini, duduk termenung sambil berkata lirih,
إنَّ أصْحَابَنَا الَّذِينَ مَضَوْا لَمْ تَنْقُصْهُمُ الدُّنْيَا شيئًا، وإنَّا أصَبْنَا مِن بَعْدِهِمْ شيئًا، لا نَجِدُ له مَوْضِعًا إلَّا التُّرَابَ.
“Sungguh sahabat-sahabat kita yang telah lebih dahulu meninggal, mereka tak pernah disentuh dunia. Dan kita… kita diberi bagian darinya, tapi tak tahu harus kita letakkan di mana selain ke tanah.” (HR. Bukhari)
Ah, betapa keras dunia membisiki, membujuk, mengelabui. Tapi bagi mereka, dunia bukan rumah. Hanya halte sementara dalam perjalanan pulang. Kita, yang sering tak sadar sedang dalam perjalanan, terlalu sibuk menghias halte, lupa menyiapkan bekal keabadian.
“Tiga yang mengikuti mayit…”
Pernahkah kau memikirkan saat tubuhmu dibaringkan? Diiringi tangis keluarga, diantarkan hingga liang terakhir. Maka akan ada tiga yang mengikuti: keluarga, harta, dan amal. Tapi dua akan pulang… yang satu tinggal. Bukan rumah, bukan mobil, bukan likes dan views. Hanya amal yang menunggu di sisi, di kegelapan liang, jadi teman sejati.
Nabi shallahllahu’alaihi wa sallam bersabda,
يَتْبَعُ المَيِّتَ ثَلاثَةٌ، فَيَرْجِعُ اثْنانِ ويَبْقَى واحِدٌ، يَتْبَعُهُ أهْلُهُ ومالُهُ وعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أهْلُهُ ومالُهُ ويَبْقَى عَمَلُهُ.
“Tiga hal akan mengikuti jenazah (orang yang meninggal): keluarganya, hartanya, dan amalnya. Dua akan kembali, dan satu akan tetap bersamanya. Keluarga dan hartanya akan kembali (meninggalkannya), sedangkan amalnya yang akan tetap bersamanya.” (HR. Muslim. Dari Anas bin Malik)
“Kau tertawa… padahal neraka di hadapanmu”
Satu hari, Jibril turun dengan wajah berubah. Rasulullah ﷺ, yang melihatnya, bertanya,
يا جبريلُ ما لي أراك متغيِّرَ اللَّونِ ؟
“Kenapa aku lihat wajahmu pucat?”
Jibril berkata,
ما جئتُك حتَّى أمر اللهُ بمنافيخِ النَّارِ
“Aku tak datang padamu… hingga Sang Pemilik Semesta memerintahkan dinyalakannya bara api neraka.” (HR. Ibnu Abid Dunya dan Thabrani)
Lalu mereka menangis. Dua makhluk teragung, Rasul Allah dan malaikat Jibril, menangis karena takut neraka. Dan kita? Masih tertawa, masih berbangga pada dosa, seolah ajal enggan menyapa.
“Wahai anak Adam…”
“Wahai anak Adam,” sabda Nabi ﷺ, “membelanjakan kelebihan harta itu baik untukmu. Menahannya buruk bagimu.” Dunia memang manis, tapi memeluknya erat justru bisa membakar. Maka belanjakan kelebihannya. Jangan simpan semua untuk dirimu, mulailah dari keluargamu, dan ingat: tangan yang memberi selalu lebih baik daripada tangan yang meminta.
“Apa yang kau punya hari ini?”
Rasul ﷺ bersabda,
من أصبحَ معافًى في جسمِهِ آمنًا في سربِهِ عندَهُ قوتُ يومِهِ فَكأنَّما حيزت لَهُ الدُّنيا.
“Siapa yang pagi ini tubuhnya sehat, rumahnya aman, dan punya makanan untuk hari ini, maka seolah dunia telah dikumpulkan seluruhnya untuknya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Tapi kita, terlalu sibuk mengejar besok, hingga lupa bersyukur hari ini. Kita mencari lebih dan lebih, padahal cukup tak pernah kurang jika hati ridha.
“Kematian bukan cerita orang lain”
Rasul ﷺ pernah berdiri di atas untanya dan berkhutbah:
يا أيُّها النَّاسُ كأنَّ الحقَّ فيها على غيرِنا وجبَ وكأنَّ الموتَ على غيرِنا كُتبَ وكأنَّ الَّذي يشيَّعُ منَ الأمواتِ سفْرٌ عمَّا قليلٍ إلينا راجِعونَ نبوِّئُهم أجداثَهم ونأكلُ تُراثَهم
“Seakan-akan kematian itu hanya berlaku untuk orang lain. Kita mengantar jenazah lalu mewarisi harta mereka, seolah mereka hanya pergi dalam sebuah perjalanan, yang sebentar lagi akan kembali kepada kita. Lalu kita menyiapkan tempat peristirahatan mereka, dan dengan tenang kita memakan warisan yang mereka tinggalkan…” (HR. Al-Bazzar)
Betapa jujur sabda itu: hidup ini hanya sejenak, seperti musafir berteduh di bawah pohon sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
“Jika kalian tetap seperti saat bersamaku…”
Sahabat bertanya panik, “Ya Rasulullah, kami merasa munafik! Ketika bersamamu kami mengingat akhirat, tapi ketika pulang, kami sibuk dunia.” Rasul tersenyum dan menjawab, “Kalau kalian bisa seperti itu sepanjang waktu, niscaya malaikat akan menyalami kalian di jalan-jalan Madinah.”
Tapi manusia tetap manusia. Maka bukan kesempurnaan yang dituntut. Tapi kesungguhan. Untuk terus kembali. Untuk terus mengingat. Untuk terus menangis setiap kali lupa.
“Kaya itu bukan di kantong…”
Seorang bijak pernah berkata,
الغِنى اليأسُ مما في أيدي الناسِ
“Kaya adalah putus harap dari apa yang dimiliki manusia lain.”
Sebab mata yang tak terus memandang ke tangan orang lain adalah mata yang paling damai. Hati yang cukup adalah istana. Dan orang yang bisa menolak dunia adalah sang pemenang sejati.
“Dan malam menjadi kehormatanmu…”
Jibril berkata:
يا محمَّدُ عِش مَا شِئتَ فإنَّكَ ميِّتٌ، وأحبِبْ من شئتَ فإنَّكَ مفارِقُه، واعمَل ما شئتَ فإنَّكَ مجزيٌّ بِه
“Wahai Muhammad, hiduplah sesukamu, karena kau pasti mati. Cintailah siapa pun yang kau mau, karena kau akan berpisah darinya. Dan berbuatlah semaumu, karena kau akan dibalas.” (HR. Thabrani dan Abu Dawud)
Maka ketahuilah: kehormatan seorang mukmin ada dalam salat malam, dan izzahnya ada dalam rasa cukup. Bukan dalam pujian, bukan dalam popularitas.
Kawan,
Hidup bukan perlombaan menumpuk, tapi perlombaan menipiskan: menipiskan ego, nafsu, riya, dan cinta pada dunia. Dunia bukan rumah. Dunia hanya halte. Pulanglah ke rumahmu yang sejati: ke kampung akhirat. Tabunglah cinta, amal, dan air mata harap dalam setiap salatmu. Karena pada akhirnya… semua akan pergi. Dan hanya amal yang tinggal menemani.
“Jika dunia telah direnggut dari tanganmu, biarlah. Asal akhirat tetap terjaga di dalam dadamu.”
Oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com