Bismillah…
Mengapa Kita Harus Meninjau Ulang Makna Sukses?
Punya rapor bagus, jabatan mentereng, bisnis melejit—sering kita cap “sukses”. Tapi kenapa hati masih cemas, dibanding-bandingkan, dan gampang patah saat gagal? Mungkin karena standar “sukses” kita salah alamat. Sudah saatnya kembali ke kesuksesan hakiki dalam Islam: ukuran yang menenangkan jiwa, bukan sekadar memoles citra.
Di musim ujian sekolah dan perebutan kursi karier, kata “sukses” makin sering digembar-gemborkan. Orang tua mendorong anak mengejar nilai, pebisnis mengejar profit, profesional mengejar posisi. Lalu ketika target duniawi tak tercapai, hati runtuh. Padahal Allah sudah memperingatkan agar kita tak tertipu gemerlap semu itu:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُم وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari ketika seorang ayah tak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tak dapat (pula) menolong ayahnya sedikit pun. Sungguh, janji Allah itu benar. Maka janganlah dunia memperdaya kalian, dan jangan (pula) penipu memperdaya kalian tentang Allah.” (QS. Luqmān: 33)
Luruskan Standar
Mengapa standar kita melenceng?
Karena kita menyerap ukuran materialistik:
nilai = sukses,
rugi = gagal,
viral = hebat.
Akibatnya, kesuksesan hakiki dalam Islam kabur tertutup metrik dunia. Allah mengingatkan:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Kamilah yang membagi penghidupan mereka di dunia dan Kami tinggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka memanfaatkan yang lain. Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf: 32)
Artinya, ketimpangan rezeki adalah sunnatullah, agar tiap orang punya peran, saling membutuhkan, dan diuji pada posisinya. Kesuksesan hakiki dalam Islam bukanlah menyamakan semua hasil, tetapi menunaikan amanah dengan takwa, di mana pun pos kita.
Nabi ﷺ juga menegaskan kualitas dasar yang membingkai “maju” versi Islam:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai daripada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan.” (HR. Muslim)
Kuat di sini bukan sekadar fisik/angka, tapi kokoh iman, tekun ikhtiar, cerdas membaca peluang halal, dan kukuh memegang prinsip.
Baca ini juga ya…
Motivasi dan Perencanaan Hidup untuk Lulusan Muda SMA
Realita yang Menggeser Kaca Mata
- Pendidikan: Anak gagal ujian. Di standar dunia: gagal. Di standar kesuksesan hakiki dalam Islam: jika ia jujur, bangkit, dan tekun memperbaiki diri, itu sukses. Nilai bisa mengejar, karakter sulit dibentuk kilat.
- Bisnis: Proyek merugi. Dunia bilang “habis sudah”. Islam berkata: evaluasi, bertaubat dari lalai, perkuat keahlian, perbaiki akad dan etika, lanjutkan ikhtiar. Rezeki dibagi oleh Allah, hasil bukan milik selamanya.
- Prestise: Jabatan urung. Dunia mengolok. Al-Qur’an menghibur dengan timbangan akhirat:
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ…
“Timbangan pada hari itu (menjadi ukuran) kebenaran. Siapa yang berat timbangan (kebaikan)-nya, merekalah yang beruntung. Siapa yang ringan timbangan (kebaikan)-nya, merekalah yang merugikan diri sendiri.” (QS. Al-A‘rāf: 8–9)
Rasulullah ﷺ juga menilai manusia bukan dari kemasan sosialnya:
رُبَّ أَشْعَثَ مَدْفُوعٍ بِالْأَبْوَابِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ
“Boleh jadi ada orang berambut kusut dan (kalau mengetuk) didorong dari pintu; namun jika ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah kabulkan.” (HR. Muslim)
Dan ketika sahabat memuji “orang terpandang”, Nabi ﷺ membalik standar itu:
“…Lalu lewat seorang miskin dari kaum Muslimin… Nabi bersabda: ‘Orang (miskin) ini lebih baik daripada sepenuh bumi orang (terpandang) itu.’” (HR. Al-Bukhari, dari Sahl bin Sa‘d)
Langkah Praktis Menata Ulang Ukuran Sukses
1) Tetapkan definisi
Tuliskan di awal agenda harian: “Tujuan utama: ridha Allah.” Inilah fondasi kesuksesan hakiki dalam Islam.
2) Rinci indikator
- Aqidah & ibadah: lebih tertib shalat, tilawah, dzikir.
- Akhlak & amanah: jujur, menepati janji, adil dalam peran.
- Ikhtiar profesional: belajar sungguh-sungguh, skill up, kerja halal, manfaat untuk sesama.
- Qana’ah & syukur: bahagia dengan bagian yang Allah bagi, tanpa berhenti berproses.
3) Standar evaluasi mingguan
Ganti pertanyaan “Berapa yang aku punya?” menjadi “Berapa manfaat dan ketaatan yang bertambah?” Tautkan ke janji Allah:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا • وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Siapa bertakwa kepada Allah, Dia jadikan baginya jalan keluar dan Dia rezekikan dari arah tak disangka.” (QS. At-Talāq: 2–3)
4) Bangun ketangguhan spiritual
- Tazkiyatun-nafs:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا • وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya; dan rugi yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9–10)
- Hidup baik (hayah thayyibah):
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sungguh Kami akan memberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Naḥl: 97)
- Rasa aman & petunjuk:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka itu mendapat petunjuk.” (QS. Al-An‘ām: 82)
- Waspada dari hidup sempit karena lalai:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
“Siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Ṭāhā: 124)
5) Terapkan di konteks nyata
- Orang tua & guru: ukur kemajuan anak pada disiplin, adab, dan kegigihan—bukan nilai semata.
- Mahasiswa & pekerja: kejar skill & integritas; pilih jalan halal meski prosesnya lebih panjang.
- Pebisnis: benahi akad, transparansi, dan keberkahan arus kas—labanya menyusul, berkahnya menetap.
Baca ini juga ya…
Kiat Sukses dengan Tawakkal
Kesuksesan hakiki dalam Islam bukan perang mengejar angka, gelar, dan sorot kamera; ia benteng ridha pada takaran Allah, harta qana’ah di dada, serta iman yang menuntun ikhtiar. Dunia adalah ladang ujian; piala sesungguhnya ada di akhir perhitungan:
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ ۚ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ
Kalau standar sudah lurus, maka “gagal” dunia bukan vonis, melainkan materi belajar menuju ridha-Nya. Itulah wajah asli kesuksesan hakiki dalam Islam—tenang, terarah, dan berbuah selamat.
Wallahu a‘lam.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com





