Niat Udah Baik, Tapi… Sah Gak Ya?
Pernikahan tuh momen sakral, ya. Semua orang pengen hari itu jadi kenangan indah. Tapi pernah kepikiran gak sih, gimana kalau cewek yang mau nikah itu udah gak punya ayah? Atau ayahnya gak ada kabar?
Terus, siapa dong yang bisa jadi wali nikahnya?
Banyak orang mikir, “Yang penting ada cowok dari keluarga, beres.” Tapi ternyata dalam Islam, gak semua cowok dari keluarga otomatis sah jadi wali nikah.
Akad Jalan, Tapi Sah Gak di Mata Syariat?
Contohnya gini: ada ibu yang mau nikah lagi. Karena ayahnya udah gak ada, anak cowoknya yang jadi wali nikah. Terlihat wajar. Tapi ternyata, kakeknya (ayah dari ibu) masih hidup dan sehat walafiat.
Nah, kalau kayak gitu, sah gak akad nikahnya?
Jawabannya: nggak sah. Karena urutan wali dalam Islam itu ada aturannya. Dan harus diikuti.
Wali Nikah Itu Bukan Formalitas
Dalam Islam, wali itu bukan sekadar simbol. Tapi bagian penting dari akad nikah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ»
“Gak sah nikah kecuali ada wali.”
(HR. Abu Daud, disahihkan Al-Albani)
Jadi, kalau gak ada wali yang sah, akadnya batal secara syariat, meskipun semua orang setuju dan udah pakai catering.
Lalu, siapa aja sih yang masuk dalam daftar “wali sah” itu?
Berikut urutan wali nikah menurut para ulama:
-
Ayah kandung
-
Kakek (dari jalur ayah)
-
Anak laki-laki kandung (kalau si perempuan janda dan anaknya udah baligh)
-
Saudara laki-laki sekandung
-
Paman kandung (saudara ayah)
-
Sepupu laki-laki dari jalur ayah
-
Dan kalau semuanya gak ada: Wali Hakim.
Kalau Urutannya Salah, Akadnya Bisa Gagal
Misal nih ya, ayah si cewek masih hidup, tapi yang menikahkan malah kakaknya atau anak laki-lakinya. Padahal ayahnya sehat dan ada.
Kata Ibnu Qudamah -rahimahullah- dalam Al-Mughni:
“إِذَا زَوَّجَهَا الْوَلِيُّ الْأَبْعَدُ، مَعَ حُضُورِ الْوَلِيِّ الْأَقْرَبِ، … لَمْ يَصِحَّ.”
“Kalau wali yang jauh menikahkan, padahal wali yang dekat masih ada dan gak kasih izin, nikahnya gak sah.”
Al-Hajjawi -rahimahullah- dalam kitab Zadul Mustaqni’ nambahin:
“وَإِنْ زَوَّجَ الأَبْعَدُ، أَوْ أَجْنَبِيٌّ، مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ: لَمْ يَصِحَّ”
“Kalau yang menikahkan itu wali jauh atau orang luar, tanpa alasan syar’i, nikahnya gak sah.”
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- juga bilang:
وإن زوج الأبعدُ أو أجنبيٌ من غير عذرٍ لم يصح، يعني والأقرب موجود، وأهل للولاية، فإن النكاح لا يصح؛ لأن قول الرسول ﷺ: «إِلَّا بِوَلِيٍّ» وصف مشتق من الولاية، فيقتضي أن يكون الأحق الأولى فالأولى”
“Jika wali yang lebih jauh atau orang asing menikahkan tanpa alasan yang sah, maka pernikahan tidak sah, padahal wali yang lebih dekat masih ada dan layak. Karena sabda Rasulullah ﷺ ‘kecuali dengan wali’ itu menunjukkan bahwa yang berhak adalah yang paling utama, lalu yang setelahnya.” (Syarah Al Mumti’, 12/45).
Solusi: Gimana Kalau Gak Ada Wali Nasab?
Nah, terus kalau misalnya ayahnya udah meninggal, kakek gak ada, saudara cowok juga gak ada. Gimana dong?
Tenang. Islam punya solusinya: Wali Hakim.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«السُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ»
“Kalau gak ada wali, maka penguasa (hakim) jadi walinya.”
(HR. Abu Daud, disahihkan Al-Albani)
Dalam konteks kita di Indonesia, wali hakim itu adalah petugas KUA yang ditunjuk oleh negara, sesuai dengan Fatwa MUI No. 4 Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 4.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- juga pernah ditanya soal anak yang menikahkan ibunya. Jawaban beliau:
-
Kalau ayah gak bisa dihubungi, anak boleh jadi wali darurat.
-
Kalau ayah nolak nikah padahal si calon suami orang baik, anak boleh gantiin.
-
Tapi kalau ayah ada, sanggup, dan gak menghalangi, anak gak sah jadi wali. Harus ayah yang langsung atau izin darinya (Dalam Liqā’ al-Bāb al-Maftūḥ (no. 159).
Kesimpulan: Jangan Sampai Niat Baik Malah Jadi Masalah
Nikah itu ibadah. Harus sah secara syariat, gak cukup cuma “niat baik” dan “semua setuju”.
Kalau wali nikahnya gak sah, akadnya batal, dan harus diulang.
Makanya, penting banget ngerti urutan wali nikah. Jangan cuma asal tunjuk, apalagi karena “udah deket aja” atau “biar cepet”. Kalau gak ada wali nasab, baru wali hakim yang turun tangan.
Biar nikah kita bukan cuma sah di KUA, tapi juga sah di hadapan Allah.
Penulis: Ahmad Anshori, Lc., M.Pd.
Artikel: Remajaislam.com