Bismillah…
Saudaraku, kebenaran ketika masih disampaikan diam-diam mungkin hanya menimbulkan sedikit riak. Tetapi begitu ia diumumkan terang-terangan, biasanya gelombangnya besar, bahkan bisa menggemparkan. Demikianlah yang terjadi pada dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Selama tiga tahun beliau berdakwah secara sembunyi-sembunyi, namun setelah datang perintah dari Allah agar risalah disampaikan secara terbuka, kota Makkah langsung berguncang.
Perintah untuk Berdakwah Terbuka
Allah ﷻ menurunkan ayat:
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara: 214)
Ayat ini seperti titik balik. Seperti pintu yang terbuka, dan di baliknya ada jalan panjang penuh duri. Ibnu Hajar -rahimahullah- menjelasakan hikmah dibalik perintah memulai dakwah dari kerabat terdekat terlebih dahulu:
والسر في الأمر بإنذار الأقربين أولا أن الحجة إذا قامت عليهم تعدت إلى غيرهم، وإلا فكانوا علة للأبعدين في الامتناع، وأن لا يأخذه ما يأخذ القريب للقريب من العطف والرأفة فيحابيهم في الدعوة والتخويف، فلذلك نص له على إنذارهم
“Rahasia (hikmah) di balik perintah untuk memberi peringatan terlebih dahulu kepada kerabat dekat adalah bahwa jika hujjah sudah tegak atas mereka, maka ia akan meluas kepada selain mereka. Sebaliknya, jika tidak (dimulai dari mereka), maka mereka akan menjadi alasan bagi orang-orang yang jauh untuk menolak. Selain itu, supaya beliau ﷺ tidak terpengaruh oleh rasa iba dan kasih sayang seorang kerabat terhadap kerabatnya, lalu memihak mereka dalam dakwah dan peringatan. Karena itu, secara khusus beliau diperintahkan untuk memberi peringatan kepada mereka.” (Fahul Bari)
Nabi ﷺ pun mengumpulkan keluarga besar Bani Hasyim dan Quraisy. Suara beliau tegas, tidak bergetar, walau yang duduk di hadapan adalah orang-orang yang beliau cintai.
يَابني فِهْرٍ، يَابني عَدِيٍّ أرأيتكم (أخبروني)لو أخبرتكم أن خيلا بالوادي تريد أن تغير عليكم أكنتم مُصَدِّقِيَّ؟
“Wahai keturunan Fihr, wahai keturunan ‘Adi! Bagaimana pendapat kalian (kabarkan kepadaku), jika aku beritahukan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda di lembah yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?”
Kalimat itu bagai petir. Karena bagi bangsa Arab, keluarga adalah segalanya. Tapi Nabi ﷺ ingin menegaskan: iman bukan soal darah dan garis keturunan. Iman adalah tentang hati, tentang pilihan sadar, tentang siapa yang kita sembah.
Seruan di Bukit Shafa dan Turunnya Surat Al-Masad
Setelah itu, Nabi ﷺ naik ke Bukit Shafa. Beliau memanggil seluruh Quraisy dan menguji kepercayaan mereka dengan bertanya:
أرأيتكم (أخبروني)لو أخبرتكم أن خيلا بالوادي تريد أن تغير عليكم أكنتم مُصَدِّقِيَّ؟
“Jika aku katakan ada pasukan di balik bukit ini siap menyerang, apakah kalian percaya?”
Mereka menjawab:
نعم، ما جربنا عليك إلا صدقا!!
“Tentu, kami percaya. Engkau tidak pernah berdusta.”
Maka Rasulullah ﷺ menegaskan:
إني نذير لكم بين يدي عذاب شديد
“Ketahuilah, aku adalah pemberi peringatan kepada kalian tentang azab yang keras.”
Ini adalah ucapan Nabi Muhammad ﷺ ketika beliau naik ke bukit Shafa untuk menyeru kaumnya secara terang-terangan. Beliau membuka seruan dengan pertanyaan ini untuk menegaskan bahwa mereka semua sudah mengenal beliau sebagai Al-Amîn (yang terpercaya), sehingga ketika beliau membawa kabar tentang akhirat, mereka seharusnya lebih layak mempercayainya.
Namun, bukannya menerima dengan lapang dada, salah satu paman beliau, Abu Lahab, justru bangkit dengan wajah marah dan berkata kasar di hadapan orang banyak:
تبّاً (هلاكاً) لك سائر اليوم، ألهذا جمعتنا،
“Celaka engkau sepanjang hari! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?”
Ucapan yang menghina dan menolak dakwah itu segera dijawab oleh Allah dengan turunnya wahyu yang mengabadikan kebinasaan Abu Lahab:
{تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ * مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ}
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia benar-benar binasa. Tidak berguna baginya harta bendanya dan apa yang dia usahakan.”
(QS. Al-Masad: 1–2)
Ayat ini menjadi bukti nyata bahwa kekayaan, kedudukan, dan usahanya tidak akan menyelamatkan Abu Lahab dari murka Allah. Meskipun ia merasa kuat dengan kekayaan dan keturunannya. Bahkan, ia dan istrinya kelak akan menjadi penghuni neraka.
Benturan dengan Tiga Kepentingan Besar
Namun, kebenaran selalu punya harga. Mayoritas Quraisy menolak. Mengapa? Karena dakwah Nabi ﷺ menghantam tiga hal yang paling mereka jaga:
-
Keyakinan – Berhala-berhala mereka harus ditinggalkan. Padahal itulah simbol kebanggaan leluhur.
-
Kekuasaan sosial – Dakwah Islam menuntut kesetaraan. Padahal para pemimpin Quraisy hidup dari hirarki dan kasta.
-
Ekonomi – Ka’bah yang penuh berhala adalah magnet perdagangan. Kalau berhala hilang, mereka khawatir pemasukan juga lenyap.
Maka sejak hari itu, hujatan pun dimulai. Nabi ﷺ dituduh tukang sihir. Dibilang orang gila. Disebut pendusta. Ironisnya, yang menuduh adalah orang-orang yang sebelumnya sepakat bahwa beliau Al-Amīn, sosok paling jujur di Makkah.
Tekanan, Boikot, dan Siksaan
Kaum Quraisy lalu mencoba segala cara.
Mereka menyiksa sahabat-sahabat yang lemah. Bilal dipaksa dijemur di padang pasir, dadanya ditindih batu besar. Keluarga Yasir disiksa hingga Sumayyah, seorang wanita tua menjadi syahid pertama dalam Islam. Khabab dipanggang dengan bara api.
Mereka juga membuat boikot kejam: orang-orang Muslim tidak boleh berdagang, tidak boleh menikah, tidak boleh bergaul dengan masyarakat. Seperti dikucilkan dari dunia.
Bahkan mereka menawarkan segala rayuan: harta, kedudukan, kekuasaan. Asalkan Muhammad ﷺ berhenti berdakwah.
Namun jawaban beliau tegas, setegas langit di atas Makkah:
– يا عمَّاهُ، واللهِ لَو وَضعوا الشَّمسَ في يميني والقمرَ في شمالِي علَى أن أتركَ هذا الأمرَ حتَّى يُظهرَه اللهُ أو أهلِكَ فيه ما تركتُهُ
“Demi Allah, jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini, aku tidak akan meninggalkannya. Sampai Allah memenangkan agama ini atau aku binasa karenanya.”
Hikmah dan Pelajaran
Dari peristiwa ini, ada beberapa pelajaran penting:
-
Tauhid harga mati – Nabi ﷺ tidak pernah kompromi dalam urusan akidah.
-
Dakwah pasti ada tantangan – semua Nabi memiliki musuh. Rintangan adalah sunnatullah.
-
Kesabaran adalah kunci – meski disiksa dan dihina, Rasulullah ﷺ tetap teguh.
-
Jangan tergoda dunia – tawaran harta, tahta, dan wanita semua beliau tolak. Fokusnya hanya ridha Allah.
Refleksi
Saudaraku, dakwah terang-terangan ini mengajarkan bahwa kebenaran pasti menghadapi perlawanan. Tetapi selama kita berpegang pada Allah, kita tidak perlu takut.
Nabi Muhammad ﷺ sudah menunjukkan jalan. Jangan pernah menjual iman demi kenyamanan dunia. Karena kemenangan sejati bukan pada siapa yang berkuasa, tapi pada siapa yang sabar dan istiqamah.
Dan perjalanan ini belum selesai. Setelah badai penolakan, akan datang pelipur lara dari langit. InsyaAllah, pada kisah berikutnya kita akan menyelami peristiwa agung: Isra’ Mi’raj – penghiburan untuk Rasulullah ﷺ.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
Referensi:
Ar-Rkhiqul Makhtum
Al-Fushul fi Sirotir Rasul
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com