Bismillah…
Hal paling bermanfaat yang seharusnya diisi oleh manusia dalam hidupnya adalah beramal saleh yang diridhai Allah ﷻ. Untuk itu, ia mesti bersungguh-sungguh menempuh jalan ilmu mengenal Allah dan berusaha benar-benar mengikuti Rasulullah ﷺ.
Namun, siapapun kita, sebaik apapun tampak amal kita, tak ada seorang pun yang bisa hidup tanpa taubat. Taubat adalah kebutuhan harian. Bahkan, ia adalah pekerjaan seumur hidup setiap hamba. Ibnul Qayyim -rahimhaullah- berkata, mengutip firman Allah:
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11).
Beliau menjelaskan, ayat ini membagi manusia hanya menjadi dua: hamba yang bertaubat, atau hamba yang zalim. Tak ada pilihan ketiga. Dan orang yang enggan bertaubat itulah sejahat-jahat manusia, sebab ia tidak mengenal Tuhannya, tidak sadar hak-Nya, dan buta terhadap aib dirinya sendiri. (Madarij as-Salikin, 1/178).
Maka, yang seharusnya menjadi perhatian kita bukanlah membandingkan siapa yang lebih utama: orang yang bertaubat dari dosa kecil atau orang yang bertaubat dari dosa besar. Itu tidak penting. Yang penting adalah memahami bahwa syariat menegaskan: taubat yang tulus akan menghapus dosa seakan-akan tidak pernah terjadi. Rasulullah ﷺ bersabda:
«التائب من الذنب كمن لا ذنب له»
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa sama sekali.” (HR. Ibnu Majah, no. 4250; dinilai hasan oleh al-Albani).
Bahkan, lebih dari itu, dengan kasih sayang-Nya yang luas, Allah menjanjikan bagi hamba yang bertaubat, beriman, lalu memperbaiki amalnya: dosa-dosa itu akan diganti menjadi kebaikan. Allah berfirman:
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُو۟لَـٰٓئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِهِمْ حَسَنَـٰتٍ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Kecuali orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah yang keburukan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70).
Inilah rahmat yang melampaui akal manusia. Dosa yang kita tangisi, bisa Allah ganti dengan kebaikan bila taubat itu benar.
Tetapi, tentu saja, para penempuh jalan taubat ini tidak sama derajatnya. Ada yang kembali pada keadaan sebelum ia jatuh. Ada yang lebih rendah dari sebelumnya. Ada pula dan ini kemuliaan besar, yang justru naik lebih tinggi dari sebelum ia berbuat dosa.
Ibnul Qayyim -rahimahullah- memberikan permisalan indah. Bayangkan dua orang menaiki tangga tak berujung. Keduanya sama-sama naik. Salah satu dari mereka turun satu langkah, lalu mulai menaiki tangga lagi. Mustahil ia menyamai orang yang tidak pernah turun. Tetapi, bisa jadi justru rasa rendah hati, takut, tangis, dan penghambaan yang lahir dari dosa itu menjadikannya lebih mulia daripada sebelumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- menengahi perbedaan ini dengan bijak:
“التحقيق أنّ من التائبين من يعود إلى أرفع من درجته، ومنهم من يعود إلى مثل درجته، ومنهم من لا يصل إلى درجته.”
“Ada orang yang setelah taubat kembali pada derajatnya semula. Ada yang tidak sampai pada derajat sebelumnya. Ada pula yang justru melampauinya.” (Minhaj as-Sunnah, 2/434).
Karena apa? Karena taubat yang benar seringkali melahirkan sesuatu yang tak mampu dihadirkan oleh amal saleh yang lurus tanpa pernah jatuh: rasa hina di hadapan Allah, kesadaran akan lemahnya diri, takut yang dalam, dan air mata yang tulus. Kadang dosa justru menjadi sebab hamba itu selamat dari penyakit paling halus: ujub dan merasa diri lebih baik dari orang lain.
Maka, jangan remehkan taubat. Jangan tunda taubat. Jangan pula sibuk menimbang-nimbang siapa yang lebih baik, si pendosa yang bertaubat atau yang tidak pernah melakukan dosa itu. Yang jelas, derajat para penempuh jalan taubat di sisi Allah berbeda-beda, sesuai dengan ketulusan mereka kembali kepada-Nya. Dan Allah, Rabb yang Maha Adil, tak akan menzhalimi siapa pun.
Allah ﷻ berfirman:
لَا يَسْتَوِي أَصْحَـٰبُ ٱلنَّارِ وَأَصْحَـٰبُ ٱلْجَنَّةِ ۚ أَصْحَـٰبُ ٱلْجَنَّةِ هُمُ ٱلْفَآئِزُونَ
“Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga; penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 20).
أَمْ حَسِبَ ٱلَّذِينَ ٱجْتَرَحُوا ٱلسَّيِّـَٔاتِ أَن نَّجْعَلَهُمْ كَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ ۙ سَوَآءً مَّحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَآءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Apakah orang-orang yang berbuat dosa mengira bahwa Kami akan menjadikan mereka sama dengan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, baik dalam kehidupan maupun kematian mereka? Amat buruklah keputusan mereka itu.” (QS. Al-Jatsiyah: 21).
Maka, kembalilah kepada Allah. Jangan menunggu sampai diri ini sempurna. Karena kesempurnaan itu justru lahir dari keberanian untuk segera kembali dan belajar dari kesalahan.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com