Silaturahmi adalah ibadah yang besar pahalanya. Banyak ayat dan hadis yang secara gamblang menjelaskan keutamaannya. Sehingga silaturahmi bukan hanya suatu tindakan sosial saja, tapi seorang muslim bisa beribadah kepada Thannya; Allah ‘azza wa jalla dengan cara bersilaturahim kepada kerabatnya.
Diantara motivasi menyambung silaturahmi dalam Al-Quran, ada dalam surat Ar-Ra’d ayat 21 Allah ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ يَصِلُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ وَيَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ وَيَخَافُونَ سُوٓءَ ٱلۡحِسَابِ
“Orang-orang yang menjaga hubungan kepada siapa saja yang Allah perintahkan dijaga hubungannya. Mereka takut kepada Tuhannya, takut kepada hisab yang buruk.”
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di -rahimahullah- menerangkan bahwa yang dimaksud menjaga hubungan kepada siapa saja yang Allah perintahkan, adalah perintah luas maknanya, bukannya kerabat, bahkan menjaga hubungan baik kepada Allah dan Rasulul-Nya.
وهذا عامٌّ في كلِّ ما أمر الله تعالى بوَصْله؛ من الإيمان به سبحانه وبرسوله صلى الله عليه وسلم، ومحبَّتِه تعالى ومحبَّة رسوله صلى الله عليه وسلم، والانقياد لعبادته وحده لا شريك له، ولطاعة رسولِه صلى الله عليه وسلم، ويَصِلُونَ آباءهم وأمَّهاتهم ببرِّهم بالقول والفعل وعدم عقوقهم، ويصِلون الأقاربَ والأرحام بالإحسان إليهم قولًا وفعلًا، ويصِلون ما بينهم وبين الأزواج والأصحاب والمماليك بأداء حقهم كاملًا موفرًا من الحقوق الدينية والدنيوية، والسبب الذي يجعل العبد واصلًا ما أمر الله تعالى به أن يوصَل – خشية الله تعالى وخوف يوم الحساب؛ ولهذا قال الله سبحانه: ﴿ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ﴾؛ أي: يخافونه، فيمنعهم خوفهم منه ومن القدوم عليه يوم الحساب، أن يتجرَّؤوا على معاصي الله تعالى، أو يقصِّروا في شيء مما أمر الله سبحانه به؛ خوفًا من العقاب، ورجاء للثواب
“Perintah ini bermakna umum. Mencakup seluruh pihak yang Allah perintahkan untuk dijaga hubungannya. Seperti dengan iman kepada Allah -subhanah-, kepada Rasul-Nya -shallallahu’alaihi wa sallam-, mencintai Allah ta’ala, mencintai Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-. Menjaga hubungan baik pula dengan ayah dan kakek – kakeknya, ibu nenek – neneknya, dengan berbuat baik melalui ucapan dan perbuatan, tidak berbuat durhaka kepada mereka. Menjaga hubungan baik juga dengan kerabat dengan berbuat baik kepada mereka secara ucapan dan perbuatan. Dan juga menyambung hubungan baik dengan istri – istri, teman, hamba sahaya, dengan menunaikan hak – hak mereka, hak berkaitan kebutuhan dunia maupun kebutuhan akhirat mereka.
Sebuah motivasi yang menyebabkan seorang hamba mau menyambung hubungan baik dengan siapa saja yang Allah perintahkan menyambungnya adalah, perasaan takut kepada Allah ta’ala, serta kekhawatirannya terhadap hisab yang buruk di hari kiamat kelak. Oleh karennya Allah mengatakan, “Mereka takut kepada Tuhannya.” Maksudnya takut kepada Allah, perasaan itu dan keyakinannya tentang persidangan di Yaumul Hisab di hari kiamat, mencegah mereka dari maksiat dan teledor dalam menunaikan hak pihak – pihak yang Allah perintahkan dijaga hubungannya. Karena dia takut kepada azab serta berharap pahala.” (Tafsir As-Sa’di)
Lantas siapa kerabat yang harus dijaga silaturahimnya?
Orang – orang yang wajib dijaga silaturahminya adalah kerabat – kerabat yang ada hubungan mahram dengan kita, dalam istilah fikih disebut “Ar-rahimul Muharromah”. Maksudnya adalah kerabat – kerabat yang haram dinikahi secara selamanya (dalam bahasa fikih disebut Mahrom Mu-abbab).
Ada tiga jenis kerabat yang tergolong Mahrom muabbad :
- Karena nasab
- Karena ikatan perkawinan (mushoharoh)
- Karena persusuan (rodho’ah).
[1] Mahrom muabbad karena nasab ada tujuh wanita:
Pertama: Ibu.
Yang termasuk di sini adalah ibu kandungnya, ibu dari ayahnya, dan neneknya (dari jalan laki-laki atau perempuan) ke atas.
Kedua: Anak perempuan.
Yang termasuk di sini adalah anak perempuannya, cucu perempuannya dan terus ke bawah.
Ketiga: Saudara perempuan.
Keempat: Bibi dari jalur ayah (‘ammaat)
Yang dimaksud di sini adalah saudara perempuan dari ayahnya ke atas. Termasuk di dalamnya adalah bibi dari ayahnya atau bibi dari ibunya.
Kelima: Bibi dari jalur ibu (khollaat)
Yang dimaksud di sini adalah saudara perempuan dari ibu ke atas. Termasuk di dalamnya adalah saudara perempuan dari ibu ayahnya.
Keenam dan ketujuh: Anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan (keponakan).
Yang dimaksud di sini adalah anak perempuan dari saudara laki-laki atau saudara perempuannya, dan ini terus ke bawah.
[2] Mahrom muabbad karena ikatan perkawinan (mushoro’ah) ada empat wanita:
Pertama: Istri dari ayah (ibu tiri).
Kedua: Ibu dari istri (ibu mertua). Ibu mertua ini menjadi mahrom selamanya (muabbad) dengan hanya sekedar akad nikah dengan anaknya (tanpa mesti anaknya disetubuhi), menurut mayoritas ulama. Yang termasuk di dalamnya adalah ibu dari ibu mertua dan ibu dari ayah mertua.
Ketiga: Anak perempuan dari istri (robibah). Ia bisa jadi mahrom dengan syarat si laki-laki telah menyetubuhi ibunya. Jika hanya sekedar akad dengan ibunya namun belum sempat disetubuhi, maka boleh menikahi anak perempuannya tadi. Yang termasuk mahrom juga adalah anak perempuan dari anak perempuan dari istri dan anak perempuan dari anak laki-laki dari istri.
Keempat: Istri dari anak laki-laki (menantu). Yang termasuk mahrom juga adalah istri dari anak persusuan.
[3] Mahrom muabbad karena persusuan (rodho’ah):
- Wanita yang menyusui dan ibunya.
- Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
- Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
- Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari saudara persusuan).
- Ibu dari suami dari wanita yang menyusui.
- Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
- Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara persusuan).
- Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
- Istri lain dari suami dari wanita yang menyesui.
Adapun jumlah persusuan yang menyebabkan mahrom adalah lima persusuan atau lebih. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Atho’ dan Thowus. Pendapat ini juga adalah pendapat Aisyah, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Zubair.
Mahram – mahram di atas itulah yang termaktub di dalam ayat ini,
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
“Janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara.”
Selain Mahrom Mu-abbad, ada istilah Mahram Mu-aqqot (Mahram tidak selamanya). Namun yang menjadi bahasan di sini adalah Mahrom Mu-abbad, karena jenis Mahram inilah yang diwajibkan oleh Islam dijaga silaturahminya.
Temen – temen yuk boleh baca – baca lebih dalam tentang mahram di Rumaysho : Siapakah Mahram Anda?
Kampung Santri Sawo, Jogja, 13 Rabiul Tsani 1444 H
Penulis : Ahmad Anshori
Artikel RemajaIslam.Com