Tentang kriteria imam shalat telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadis shahih dari sahabat Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ … وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ…
“Yang paling berhak jadi imam adalah yang paling aqro-uhum li kitaabillah/yang paling banyak hafalan qur’annya. Jika dalam hafalan quran mereka sama, maka didahulukan yang paling paham dengan sunnah… dan seseorang tidak boleh menjadi imam di wilayah orang lain.” (HR. Ahmad 17526, Muslim 1564, dan yang lainnya)
Pertanyaan selanjutnya adalah, “Siapa yang dimaksud orang yang “aqro-uhum li kitaabillah/yang paling banyak hafalan qur’annya”?
Apakah yang paling tua umurnya?
Atau yang pling pandai membaca Al Quran?
Yang paling bagus suaranya?
Ada dua tafsiran para ulama tentang makna aqro-uhum :
(1) yang paling banyak hafalan Qur’annya.
Diantara ulama yang pendapat ini dipegang oleh Imam Nawawi rahimahullah. Di salam kitab beliau At-Tibyan, beliau menulis sebuah bab :
الباب الثاني : في الترجيح القراءة والقارئ على غيرهما
“Bab Kedua : Mendahulukan Orang yang Paling Pandai Membaca Quran dan Qori’ Daripada yang Lainnya.”
Kemudian beliau berdalil dengan hadis di atas. (lihat : At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran, hal. 45)
(2) yang paling tahu hukum fikih terutama fikih sholat.
Pendapat ini dipegang oleh Imam Syafi’i dan Imam Malik rahimahumallah. Sebagaimana keterangan dalam Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi,
وقال مالك والشافعي وأصحابهما : الأفقه مقدم على الأقرأ ؛ لأن الذي يحتاج إليه من القراءة مضبوط والذي يحتاج إليه من الفقه غير مضبوط ، وقد يعرض في الصلاة أمر لا يقدر على مراعاة الصواب فيه إلا كامل الفقه
“Malik, Syafi’i dan ulama-ulama yang semazhab dengan beliau berdua, berpandangan bahwa orang yang peling tahu hukum islam lebih layak didahulukan daripada orang yang pandai membaca Al Quran. Karena kebutuhan bacaan Quran itu baku / tetap. Sementara kebutuhan kepada fikih itu bersifat plastis adabtif, karena bisa jadi saat sholat terjadi suatu masalah yang tidak bisa ditemukan jalan keluarnya kecuali oleh orang yang sempurna penguasaan fikihnya.” (Al-Minhaj Syarah Shohih Muslim, 5/177).
Imam Ibnu Qudamah menjelaskan,
وإن كان أحدهما أفقه في أحكام الصلاة والآخر أفقه في غير الصلاة : قُدِّم الأفقه في الصلاة
“Jika keduanya sama dalam penguasaan fikih, namun salahsatunya lebih mengusai fikih sholat daripada yang lain, maka didahulukan yang paling menguasai fikih sholat.” (Al-Mughni 2/19)
Dari kedua pendapat ini, penafsiran yang kedua tampaknya lebih kuat. Landasannya adalah sejumlah alasan berikut:
– Di saat Nabi terbaring sakit, beliau menunjuk Abu Bakr As-Shidiq -radhiyallahu’anhu- untuk menggantikan beliau sebagai Imam sholat. Padahal di masa itu, banyak sahabat yang lain yang lebih pandai membaca Al-Quran dan direkomendasikan oleh Nabi dalam hal bacaan Quran, daripada Abu Bakr, seperti Ibnu Mas’ud, Zubair bin Awwam dll.
– Orang yang paham fikih, maka insyaallah bacaan Quran mereka juga bagus. Minimal, cukup untuk menunaikan amanah bacaan Quran saat menjadi Imam.
Demikian, wallahua’lam bis showab.
Referensi :
- An-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf. At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, karya Imam Nawawi, Tahqiq : Abu Abdillah Ahmad bin Ibrahim Abi Al-‘Anain, Penerbit : Maktabah Ibnu Abbas, Samnud – Mesir, Th 1426 H / 2005 M.
- Islamqa. من أحق الناس بالإمامة. Diakses pada 05 Mei 2023, dari: https://islamqa.info/ar/answers/20219/….
Penulis : Ahmad Anshori
Artikel : RemajaIslam.com