Ilmu adalah pondasi seluruh amal, apapun jenis dan bentuknya. Posisi ilmu di dalam Islam sebagai sarana mewujudkan amal. Sehingga ilmu yang tidak mewujudkan amal dianggap sebagai ilmu yang tidak bermanfaat, seperti ilmunya orang Yahudi. Dan amalan yang tidak didasari ilmu, adalah cacat dan rusak, seperti orang Nasrani. Kedua tipe kebodohan di ataslah yang telah disinggung di dalam surat Al-Fathihah yang selalu kita baca di setiap raka’at shalat:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ﴿٧﴾
Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani). (QS. Al-Fatihah: 6-7).
Yahudi mendapatkan laknat Allah karena berilmu namun tidak beramal. Nasrani dihukumi tersesat karena beramal tapi tidak berilmu. Adapun seorang muslim berada di tengah-tengah dua keadaan ini, mereka berilmu dan beramal, mereka itulah yang mendapat petunjuk.
Di saat seorang berjuang mati-matian mencari ilmu, hanya untuk mengilmui tanpa mengamalkan, maka dia telah berhenti ditengah jalan. Dia telah menyia-nyiakan perjuangannya mencari ilmu.
Hal ini menjadi sebab sepakatnya seluruh ulama (ijma’) bahwa seorang muslim beramal tanpa tahu hukum dan ilmunya hukumnya haram. Sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Dr. Sa’ad As-Syatsri -hafidzohullah-
وقد حكى الاجماع على تحريم فعل المكلف ما لم يعلم حكمه
“Ada kesepakan dari seluruh ulama (ijma’) bahwa haram hukumnya bagi seorang mukallaf beramal tanpa mengetahui hukum agama berkenaan perbuatannya.” (Keterangan yang senada termaktub di dalam kitan Kasyfal Qonna’ 3/135, Matholib Ulin Nuha 3/3 dan Hasyiah Roudhoh Al-Murbi’ 4/325)
Umar bin Khatab -radhiyallahu’anhu- pernah menyampaikan sebuah keputusan bahwa siapa yang tidak mengilmui fikih jual beli dilarangn berjulan di pasar kaum muslimin. Beliau menyatakan:
لا يبع في سوقنا إلا من قد تفقه في الدين
“Siapa yang tidak tahu fikih ilmu agama jangan jualan di pasar kami.” (Riwayat Tirmidzi 2/357).
Oleh karenanya sampai ada fatwa dari para ulama (Kitab Al Muswaddah hal. 550 dan Al-Majmu’ 1/94) bahwa seorang muslim tidak boleh tinggal di wilayah yang tidak ada ahli ilmunya. Namun di zaman ini alhamdulillah kekurangan ini dapat ditutupi oleh sarana informasi yang berkembang dan modern.
Referensi:
As-Syatsri, Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz (1424H/2003M). Al-Qawa’id Al-Ushuliyyah Wal Fiqhiyyah Al-Muta’alliqoh Bil Muslimin Ghoir Al-Mujtahid. Penerbit Dar Isybilia. Riyadh-Saudi Arabia.
Kampoeng Santri, Bantul, 24 Dzulhijjah 1444 H – 13 Juli 2023 M
Disusun oleh : Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com