Mayoritas ulama mengatakan boleh menukil hadits secara makna dengan syarat-syarat berikut:
- Penukil benar-benar memahami makna teks asli.
- Makna yang dinukil sesuai dengan makna awal. Biasanya tatkala ada seorang ulama/ustadz yang menukilkan hadits secara makna, mereka akan menambahkan kalimat “au kamaa qoola” artinya: atau seperti yang diucapkan oleh Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-.
Jika menukil dengan terjemah bahasa Indonesia, maka harus sesuai dengan makna terjemahan asal.
Alasan diperbolehkannya menukil hadits secara makna adalah:
- Menafsirkan Al-Quran dengan bahasa asing adalah boleh berdasarkan ijma’ ulama. Apabila Al-Quran saja boleh, maka hadits lebih boleh.
- Kebanyakan hadits disampaikan oleh perawi secara makna.
Adapun Al-Quran tidak boleh dinukil secara makna karena teksnya langsung dari Allah. Contohnya Allah berfirman,
Contohnya:
Alhamdulillahirabbil ‘aalamiin.
Kemudian disampaikan dengan lafazh Hamdan wa syukran lillah.
Meskipun secara makna hampir sama, namun hal ini tidak diperbolehkan.
Referensi:
As-Syatsri, Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz (1424H/2003M). Al-Qawa’id Al-Ushuliyyah Wal Fiqhiyyah Al-Muta’alliqoh Bil Muslimin Ghoir Al-Mujtahid. Penerbit Dar Isybilia. Riyadh-Saudi Arabia.
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: RemajaIslam.com