Ada tiga kaidah fikih dasar dan penting dipahami dan diamalkan oleh setiap muslim, kaidah fikih tersebut berikut ini:
Kaedah pertama:
الْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Segala perbuatan/ hal tergantung niatnya”
Dasar kaidah ini adalah sabda Nabi ﷺ,
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan” (HR Bukhari dan Muslim)
Bila yang kita inginkan dari ibadah adalah pahala Allah, maka pasti kita mendapatkannya. Akan tetapi kalau niatnya untuk dunia saja, maka belum tentu kita mendapatkannya.
Untuk ibadah yang sifatnya meninggalkan/menghilangkan sesuatu, maka tidak perlu niat. Contoh: membersihkan najis kencing bayi yang terkena pakaian. Tatkala dalam waktu yang lama sudah tidak berbekas, najis tersebut sudah dinyatakan hilang meski tanpa diniatkan.
Diantara fungsi niat adalah:
1. Memperjelas dampak dari lafazh-lafazh kinayah.
Contoh: Seseorang mengatakan kepada istrinya, “Pulanglah ke rumah ayahmu dulu”. Kalimat ini tidak tegas mengatakan cerai. Apabila dia meniatkan untuk cerai, maka jatuhlah cerai. Akan tetapi jika tidak diniatkan cerai, maka tidak jatuh cerai.
2. Membedakan jenis ibadah
3. Membedakan amalan yang menghasilkan pahala dengan amalan yang tidak (bahkan bisa berdosa).
Contoh: seorang melakukan shalat jama’ah agar dagangannya laris. Maka ini tidak diperbolehkan, bahkan bisa menjadi dosa.
4. Membedakan amalan ibadah dengan non-ibadah.
Contoh: mandi. Bisa menjadi mandi wajib (mandi junub), juga bisa mandi yang hanya untuk mendinginkan badan.
Kaedah kedua:
الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَب
“Keluar dari perselisihan ulama itu dianjurkan”
Makna kaidah ini adalah, tatkala terjadi perbedaan pendapat diantara ulama, kita dianjurkan mengamalkan pendapat yang ketika mengambilnya tidak menyalahi kedua pendapat yang ada.
Contoh: Zakat fitrah. Ada 2 pendapat terkait hal ini:
- Pendapat jumhur: Zakat fitrah harus menggunakan bahan pokok daerah setempat.
- Madzhab hanafi: boleh menggunakan barang yang senilai (uang, pakaian, dll)
Maka kita dianjurkan membayar zakat dengan bahan pokok karena tatkala itu tidak menyelisihi kedua pendapat.
Kaedah ketiga:
لَا إِنكَارَ فِي المَسَائِلِ الإِجْتِهَادِيَّة
“Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah”
Masalah yang terjadi adalah ada perselisihan pendapat yang teranggap (mu’tabar) di dalamnya.
Contoh: jarak safar. Ada pendapat yang mengatakan bahwa standarnya adalah jarak dan ada yang mengatakan bahwa standarnya adalah ‘urf (kebiasaan masyarakat).
Referensi:
As-Syatsri, Sa’ad bin Nashir bin Abdul Aziz (1424H/2003M). Al-Qawa’id Al-Ushuliyyah Wal Fiqhiyyah Al-Muta’alliqoh Bil Muslimin Ghoir Al-Mujtahid. Penerbit Dar Isybilia. Riyadh-Saudi Arabia.
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: RemajaIslam.com