Pada tulisan ini “Menejemen Keuangan dan Hadis Jangan Menghitung Harta”
telah dipaparkan bahwa mengatur atau memenejeman keuangan tidak termasuk dalam cakupan larangan pada hadis ini. Karena dalam banyak dalil memberikan keterangan bahwa Islam sangat memperhatikan pengaturan harta atau menejeman keuangan, seperti larangan berbuat mubazir, larangan menyerahkan harta kepada orang yang tidak terampil mengelola harta.
Hadis yang menjadi bahasan adalah sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- kepada Asma’ binti Abu Bakr -radhiyallahu’anha-,
أنفقي، ولا تحصي فيحصي الله عليك، ولا توعي فيوعي الله عليك
“Berinfaklah, jangan perhitungan, niscaya Allah akan hitung-hitung rizkiNya padamu. Jangan kamu menahan-nahan, niscaya Allah akan menahan-nahan rizkiNya padamu.” (HR. Bukhari)
Makna hadis ini adalah: jangan pelit dalam hal menggunakan harta dalam hal-hal yang dicintai Allah, seperti berinfak, nafkah keluarga, sedekah, wakaf, hadiah, zakat dan ibadah-ibadah harta lainnya. Orang yang terkena ancaman hadis ini berupa Allah akan perhitungan memberinya rizki atau akan Allah tahan rizkinya adalah, yang menahan harta dengan motif pelit berinfak atau berbuat baik dengan hartanya padahal mampu. Adapun menghitung/menahan harta untuk suatu hal yang lebih bermashlahat, atau untuk mengukur kemampuan dan efektivitas penggunaan/pengeluaran, maka tidak mengapa, ini perbuatan yang baik yang tidak bertentangan dengan norma-norma Islam alhamdulillah.
Keterangan ini sebagaimana yang terdapat di dalam Fatawa Islam nomor 382741.
وأما حساب المرء لدخله ومصروفاته بقصد الموازنة بين ذلك، وادخار المرء بعض أمواله؛ ليستعين بها على لوازم الحياة، ونوائب الدهر، فلا يشمله النهي الذي تضمنه هذا الحديث، بل ذلك مطلوب شرعا؛ لأنه وسيلة إلى الاقتصاد في النفقة.
“Menghitung pemasukan dan pengeluaran uang, untuk tujuan mengukur kemampuan dan menyeimbangkan pengeluaran, atau menabung untuk kebutuhan hidup yang mendesak, itu tidak termasuk yang dilarangan di dalam hadis ini. Bahkan mengelola keuangan seperti itu adalah perilaku yang didukung oleh Islam. Karena dapat menjadi wasilah penggunaan harta menjadi lebih efektif.”
Dalam kitab Ikmal Al-Mu’allim dijelaskan,
وكله نهي عن الإمساك والبخل
“Hadis ini dan yang senada maknanya adalah larangan menahan/menabung harta karena motif pelit (menggunakannya dalam hal-hal yang baik).”
Ibnu Hajar -rahimahullah- dalam kitab Fathul Bari menerangkan maknanya,
والمعنى: لا تجمعي في الوعاء وتبخلي بالنفقة فتجازي بمثل ذلك.
“Maksudnya adalah jangan kumpulkan harta dalam penyimpanannya lalu kamu bersikap pelit untuk menginfakkannya. Karena kamu bisa dibalas oleh Allah dengan penyikapan yang sama.”
An-Nawawi -rahimahullah- menerangkan dalam Syarah Shahih Muslim,
معناه الحث على النفقة في الطاعة والنهي عن الإمساك والبخل، وعن إدخال المال في
الوعاء
“Makna hadis ini adalah motivasi untuk menggunakan harta pada hal-hal yang bernilai taat kepada Allah. Dan larangan dari bersikap pelit atau menabungnya (untuk tujuan pelit berinfak).”
Hadis di atas juga menunjukkan bahwa berinfak atau bersedekah tanpa menghitung-hitung uang yang didermakan, selama dalam kemampuan, adalah sebab keberkahan harta. Saya pernah mendengar sebuah filosofi dari pembahasan hadis ini di majelis Syaikh Prof. Abdurrazaq Al-Badr -hafidzohullah- di masjid Nabawi,
البركة مع التجاهل
“Keberkahan harta itu ada saat kita tidak mendetailkan perhitungan saat menggunakannya dalam kebaikan.”
Sekian…
Wallahul muwaffiq.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com