Bismillah…
Tawakkal seorang hamba bisa muncul dalam dua keadaan:
1. Tawakkal karena darurat; tidak ada pilihan lain.
Ketika seluruh jalan tertutup, semua sebab hilang, lalu ia sadar bahwa tidak ada tempat bergantung selain Allah. Dalam kondisi ini, pertolongan dan jalan keluar pasti datang.
2. Tawakkal dengan pilihan.
Yaitu bertawakkal kepada Allah meski masih ada sebab yang bisa ditempuh.
Jika sebab itu diperintahkan syariat, maka meninggalkannya adalah tercela. Begitu pula bila menempuh sebab tapi meninggalkan tawakkal, juga tercela. Yang benar adalah menggabungkan keduanya: menempuh sebab dan tetap bertawakkal.
Jika sebab itu haram, maka tidak boleh ditempuh. Dalam kondisi ini, satu-satunya jalan adalah bertawakkal penuh kepada Allah. Dan tawakkal itu sendiri menjadi sebab paling kuat untuk meraih kebaikan dan menolak keburukan.
Jika sebab itu mubah, maka dilihat lagi: apakah menempuh sebab tersebut justru melemahkan tawakkal dan mengganggu hati? Kalau iya, meninggalkannya lebih utama. Tetapi jika tidak melemahkan tawakkal, maka menempuhnya lebih utama, karena Allah memang menciptakan sunnatullah yang mengaitkan hasil dengan sebab. Bahkan bila dilakukan dengan niat ibadah, maka jadilah ia bentuk penghambaan: hati bertawakkal, anggota tubuh menempuh sebab, semuanya bernilai.
Keseimbangan antara Sebab dan Tawakkal
Orang yang meninggalkan sebab padahal diperintahkan, tidak bisa dianggap bertawakkal. Sama halnya dengan orang yang hanya berharap tanpa berusaha, maka harapannya hanyalah angan-angan. Begitu pula orang yang meninggalkan sebab lalu mengaku bertawakkal, sebenarnya bukan tawakkal, melainkan kelemahan.
Hakikat tawakkal adalah bersandar hati sepenuhnya kepada Allah. Karena itu, menempuh sebab tidak merusak tawakkal selama hati tidak bergantung kepadanya. Sebaliknya, ucapan “aku bertawakkal kepada Allah” tidak bermanfaat jika hati justru bersandar kepada selain-Nya.
Tawakkal lisan berbeda dengan tawakkal hati. Sama seperti taubat lisan berbeda dengan taubat hati. Bisa jadi seseorang berkata, “Aku bertawakkal kepada Allah,” tetapi hatinya masih menggantungkan diri pada makhluk. Itu sama saja dengan orang yang berkata, “Aku bertaubat,” tetapi masih terus melakukan dosa.
Jadi, tawakkal yang benar adalah perpaduan antara usaha lahir (menempuh sebab yang halal dan diperintahkan) dan sikap batin (hati sepenuhnya bergantung kepada Allah).
—
Dirangkum dari: Al-Fawàid, karya Ibnul Qayyim, 1/125-126)
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com