Hadis shahih dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- ini yang menjadi pembuka bahasan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ العبدَ إذا أخطأَ خطيئةً نُكِتت في قلبِهِ نُكْتةٌ سوداءُ، فإذا هوَ نزعَ واستَغفرَ وتابَ سُقِلَ قلبُهُ، وإن عادَ زيدَ فيها حتَّى تعلوَ قلبَهُ، وَهوَ الرَّانُ الَّذي ذَكَرَ اللَّه كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُون
“Apabila seorang hamba melakukan suatu kesalahan. maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, maka hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya). Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (HR. Tirmidzi)
Diantara hal yang penting dalam memperbaiki hati adalah dengan mempertimbangkan akibat atau konsekuensi dari sebuah dosa, dan mengingat akan adanya kerugian bagi dirinya di dunia dan di akhirat, terutama kerugian pada hatinya.
Imam Ibnul Qayyim menerangkan di dalam kitab Ad Daa’ wad Dawaa’ tentang akibat dari perbuatan dosa secara rinci, diantaranya berikut ini:
Pertama, maksiat menghalangi masuknya ilmu.
Ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.
Ketika Imam asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat Imam Malik tercengang.
Beliau pun berujar: “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”
Imam asy-Syafi’i berkata dalam sya’irnya:
شَكَوتُ إِلَى وَكِيعِ سُوْء حِفْظيْ * فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ * وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُوتَاهُ عَاصِ
Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan
Dia pun berkata: ‘Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”
Kedua, maksiat menyebabkan hati tidak menikmati ibadah.
Hati yang hampa dari merasakan nikmatnya ibadah, tak sebanding dengan kelezatan apa pun. Meskipun seluruh kelezatan dunia terkumpul padanya, tetap saja tidak akan mampu menutupi rasa hampa tersebut.
Nikmatnya ibadah tidak bisa dirasakan, kecuali oleh orang yang hatinya masih hidup, sebagaimana disebutkan dalam sebuah sya’ir:
وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتِ إِيْلَامُ
Luka itu tidak akan menyakitkan orang yang sudah mati.
Andai tak ada alasan untuk meninggalkan dosa kecuali demi menghindari kehampaan tersebut, tentulah alasan itu sudah cukup sebagai alasan meninggalkan dosa bagi orang yang berakal.
Seorang mengadu kepada sebagian orang bijak tentang kehampaan yang dirasakannya dalam jiwa. Lalu direspon dengan ungkapan sya’ir berikut:
إذا كُنتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنوبُ ” فَدَعْهَا إِذَا شِئتَ وَاسْتَأْنِسِ
Apabila engkau telah merasa hampa karena dosa;
maka tinggalkanlah ia, jika kau mau, dan raihlah kebahagiaan.
Tidak ada yang terasa lebih pahit bagi hati daripada kehampaan yang disebabkan dosa di atas dosa.
Ketiga, pelaku maksiat merasakan kegelapan di dalam hatinya sebagaimana merasakan gelapnya malam jika telah larut.
Kegelapan karena maksiat ini di dalam hatinya bagaikan gelapnya ruangan bagi matanya. Ketaatan adalah cahaya dan maksiat adalah kegelapan. Jika kegelapan menguat, maka kebingungan juga bertambah sehingga pelakunya terjatuh dalam berbagai bid’ah dan perkara yang membinasakan, sedangkan ia tidak menyadarinya. Keadaannya seperti orang buta yang berjalan keluar sendirian pada malam yang gelap gulita. Kegelapan maksiat akan menguat hingga terlihat di mata, lalu menguat lagi sampai menyelimuti wajah dan menjadi tanda hitam, hingga setiap orang mampu melihatnya.
Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Sesungguhnya kebaikan mempunyai sinar di wajah, cahaya di hati, kelapangan dalam rizki, kekuatan pada tubuh, serta cinta di hati para makhluk. Sesungguhnya keburukan memiliki tanda hitam di wajah, kegelapan di hati, kelemahan di tubuh, kekurangan dalam rizki, serta kebencian di hati para makhluk.”
Keempat, maksiat melemahkan hati dan badan.
Dampak buruk maksiat dengan melemahnya hati merupakan perkara yang tampak dengan jelas, bahkan akan senantiasa memperlemahnya hingga berhasil memadamkan cahaya hati secara keseluruhan. Adapun pengaruhnya yang melemahkan badan dikarenakan kekuatan seorang Mukmin bersumber dari hati. Jika hatinya kuat, maka badannya juga demikian.
Kelima, maksiat menghalangi ketaatan
Andaikan perbuatan dosa tidak ada hukumannya kecuali akan menghalangi ketaatan yang seharusnya menempati posisi dosa tersebut serta merintangi jalan menuju ketaatan kedua, ketaatan ketiga, keempat, dan seterusnya; maka hukuman ini sudah cukup. Banyak sekali ketaatan yang terputus karena dosa. Padahal, satu ketaatan, lebih baik daripada dunia beserta isinya. Hal ini bagaikan seseorang yang memakan suatu hidangan yang menyebabkannya sakit berkepanjangan sehingga dia tidak bisa lagi menikmati berbagai hidangan yang lebih enak daripada hidangan tadi. Wallaahul musta’aan.
Keenam, kemaksiatan akan melahirkan kemaksiatan lain yang semisalnya.
Kemaksiatan akan menanam benih kemaksiatan lain yang semisal- nya. Sebagiannya melahirkan sebagian yang lain. Sampai-sampai, pelakunya merasa sulit untuk meninggalkan dan keluar dari maksiat tersebut.
Sebagian Salaf mengatakan: “Hukuman dari keburukan adalah munculnya keburukan setelahnya, sedangkan ganjaran dari kebaikan adalah munculnya kebaikan sesudahnya. Jika seorang hamba melakukan kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya: ‘Amalkan aku juga.’ Apabila dia melakukannya, maka kebaikan yang lain lagi akan mengatakan hal serupa, demikianlah seterusnya. Alhasil, berlipat gandalah keuntungannya dan bertambahlah kebaikannya. Demikian pula dengan maksiat. Hal ini terus berlangsung hingga ketaatan atau kemaksiatan menjadi suatu sifat dan kebiasaan yang melekat dan tetap pada diri seseorang.
Keenam, maksiat melemahkan jiwa.
Dampak inilah yang paling dikhawatirkan menimpa seorang hamba, yaitu lemahnya hati dari kehendaknya akibat maksiat. Keinginan untuk bermaksiat semakin menguat, sedangkan keinginan untuk bertaubat semakin melemah, sedikit demi sedikit, sampai akhirnya keinginan untuk bertaubat hilang secara keseluruhan. Bahkan, seandai- nya separuh dirinya meninggal, dia tetap tidak bertaubat kepada Allah.
Ketujuh, maksiat menyebabkan hati tidak lagi menganggapnya sebagai perkara yang buruk.
Hati tidak lagi menganggap kemaksiatan sebagai perkara yang buruk karena telah menjadi suatu kebiasaan. Dalam kondisi demikian, pelaku maksiat tidak lagi peduli dengan pandangan manusia yang menganggap dirinya buruk, ataupun komentar jelek mereka terhadapnya. Bahkan, bagi pemuka kefasikan, kondisi ini merupakan puncak ketidakpedulian dan kesempurnaan kelezatan. Sampai-sampai, salah seorang dari mereka berbangga diri dengan maksiat dan menceritakannya kepada orang yang tidak mengetahui bahwa ia melakukan maksiat. Ia berkata: “Wahai Fulan, aku telah berbuat ini dan itu.”
Manusia seperti ini tidak pantas dilindungi. Akibatnya, dia terhalang dari jalan menuju taubat dan pintu-pintunya pun biasanya telah tertutup.
Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda:
كُلُّ أُمَّنِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِحْهَارِ: أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ علَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ : يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا، كَذَا وَكَذَا، فَيَهْتِكُ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ
“Setiap ummatku dilindungi, kecuali al-majaabiruun (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Termasuk sikap menampakkan maksiat adalah ketika Allah menutupi (maksiat) hamba-Nya (pada malam hari), kemudian pagi harinya dia memaparkannya dan berkata: “Wahai Fulan, pada hari ini dan itu aku telah melakukan begini dan begitu.’ Ia membongkar kejelekan dirinya sendiri, padahal pada malam hari Rabbnya telah menutupinya.”
***
Referensi:
Al-Badr, Abdurazzaq bin Abdulmuhsin, (1444H). Ahadits Ishlah Al-Qulub, Dar Imam Muslim, Madinah, Saudi Arabia.
Ahmad Anshori
Remajaislam.com