Bismillah…
Ada satu perkara yang selalu terbuka luas sepanjang hidup kita, meski langkah sudah goyah, meski kesalahan sudah menumpuk, meski hati sudah lelah. Perkara itu bernama taubat.
Allah ﷻ memanggil kita dengan panggilan penuh kasih:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya (taubat nashuha).” (QS. At-Tahrim: 8)
Perintah ini tidak ditujukan untuk orang yang tidak pernah jatuh. Justru sebaliknya, ia ditujukan untuk kita yang sering rapuh, sering kalah melawan nafsu. Tapi Allah masih mau kita kembali.
Taubat Nashuha, Kembali dengan Kesungguhan
Apa itu taubat nashuha?
Para ulama menjelaskan, ia adalah taubat yang sungguh-sungguh, bukan sekadar kata-kata. Ada empat syaratnya:
- الإقلاع عن الذنب – berhenti seketika dari dosa itu.
- الندم على ما فات – menyesali apa yang telah terjadi.
- العزم على عدم العودة – bertekad tidak akan mengulanginya lagi.
- Jika dosa itu menyangkut hak orang lain, maka harus mengembalikan haknya atau meminta kerelaannya (Fatwa-islamweb).
Inilah taubat yang benar. Kadang kita jatuh lagi, terjerumus lagi, tapi setiap kali bangkit dengan kejujuran, Allah tetap menerima.
Rasulullah ﷺ mengisahkan dalam hadits qudsi yang masyhur:
«أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْباً، فَقَالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي… اعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ»
“Seorang hamba berbuat dosa, lalu ia berkata: Ya Rabb, ampunilah dosaku… (Allah berfirman) lakukanlah apa yang engkau mau, sungguh Aku telah mengampunimu.” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi menjelaskan: maksudnya, selama seseorang bertaubat setiap kali jatuh, Allah akan terus mengampuninya (Sumber: Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim).
Betapa luas rahmat Allah!
Kisah Taubat Seorang Pembunuh 99 Jiwa
Untuk memahami bedanya taubat sejati dan taubat pura-pura, perhatikan kisah masyhur yang diriwayatkan Imam Muslim.
Ada seorang lelaki yang telah membunuh 99 jiwa. Hatinya gelisah, lalu ia mendatangi seorang ahli ibadah dan bertanya apakah masih ada jalan taubat baginya. Sang ahli ibadah berkata,
لا ، فَقَتَلهُ فَكَمَّلَ بهِ مئَةً
“Tidak ada.”
Maka ia pun membunuhnya, genaplah 100 orang.
Tapi kegelisahan hatinya belum reda. Ia bertanya lagi kepada seorang alim. Sang alim menjawab,
نَعَمْ ، ومَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وبَيْنَ التَّوْبَةِ ؟ انْطَلِقْ إِلى أرضِ كَذَا وكَذَا فإِنَّ بِهَا أُناساً يَعْبُدُونَ الله تَعَالَى فاعْبُدِ الله مَعَهُمْ ، ولاَ تَرْجِعْ إِلى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أرضُ سُوءٍ
“Siapa yang bisa menghalangi antara engkau dan taubat? Pergilah ke negeri Fulan, di sana ada orang-orang yang menyembah Allah, beribadahlah bersama mereka, dan jangan kembali ke kampungmu yang penuh keburukan.”
Maka berangkatlah ia, benar-benar dengan niat bertaubat. Di tengah perjalanan, ajal menjemputnya. Malaikat rahmat dan malaikat azab berselisih: siapa yang berhak mengambil ruhnya?
Allah ﷻ memutuskan dengan keadilan-Nya. Bumi diperintahkan untuk mendekatkan jarak. Dan ternyata ia lebih dekat ke negeri tujuan taubatnya. Maka Allah ﷻ pun menerima taubatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Taubat nashuha adalah perjalanan sungguh-sungguh untuk kembali kepada Allah, meski langkah masih tertatih.
Kisah si pembunuh 100 jiwa itu mengajarkan, bahkan dosa sebesar gunung pun bisa diampuni, asalkan kita tulus kembali. Tapi dosa sekecil apapun bisa menjadi bencana, jika kita mempermainkan Allah dengan taubat palsu.
Sahabat, jangan biarkan taubat kita hanya sekadar formalitas. Jadikan ia perjalanan pulang, dengan hati yang remuk tapi jujur. Karena Allah tidak melihat banyaknya jatuh kita, tetapi melihat bagaimana kita selalu kembali dengan sungguh-sungguh.
Wallahul muwaffiq….
Ditulis oleh: Ahmad Anshori, Lc., M.Pd.
Artikel: Remajaislam.com