Bismillah…
Hari itu, angin kota Mekah terasa lebih panas dari biasanya. Debu-debu beterbangan, mengiringi langkah seorang lelaki bertubuh tegap, berwajah keras, dan mata yang menyimpan amarah. Namanya Umar. Dan di balik matanya, ada gejolak yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dulu, Umar adalah bayangan paling gelap bagi kaum muslimin. Kekuatannya menjadi teror. Keberaniannya menjadi ancaman. Tapi Allah punya rencana. Di balik kerasnya hati, tersembunyi tempat yang kelak menjadi benteng Islam. Dan hari itu, rencana itu mulai terbuka.
Ketika Umar mendengar bahwa adiknya, Fatimah, bersama suaminya, Sa’id bin Zaid, telah memeluk Islam, darahnya mendidih. Ia mendatangi rumah mereka dengan murka. Namun takdir bergerak cepat. Ia tidak hanya memukul suami adiknya. Ia juga melukai adiknya sendiri; darah mengalir di wajah Fatimah, dan dunia tiba-tiba sunyi.
Ada hening yang menyusup di sela amarah.
Lalu Fatimah berkata, dengan mata berkaca-kaca:
إنك نجسٌ مشرك، وإنه لا يمسُّها إلا الطاهر
“Kau tidak bisa menyentuh lembaran ini, wahai Umar, karena kau masih najis, masih musyrik. Al-Qur’an ini hanya boleh disentuh oleh yang suci.”
Umar terdiam.
Beberapa langkah kemudian, ia berwudhu. Tangannya yang biasanya mencengkram pedang, kini menyentuh air dengan gemetar. Ia kembali dan mulai membaca satu baris dari lembaran itu. Hanya satu baris. Dan dunia yang dikenalnya runtuh seketika.
ما أحسَنَ هذا الكلامَ وأكرمَه
“Betapa indah kata-kata ini. Betapa mulianya.”
Katanya lirih, seperti bisikan yang lama tertahan. Saat itulah Khabbab, yang bersembunyi sebelumnya, muncul dan berkata:
اللهم أيِّد الإسلامَ بأبي الحَكَم بن هشام أو بعُمرَ بن الخطاب
“Aku mendengar Rasulullah berdoa kemarin, ‘Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Abu Jahal atau Umar bin Khattab.’ Wahai Umar, kau adalah harapan itu.”
Maka Umar berdiri. Pandangannya teguh. Ia tidak lagi mencari musuh. Ia mencari Muhammad.
Langkahnya menuju rumah Arqam di bukit Shafa seperti dentuman guntur. Orang-orang di dalam rumah itu ketakutan saat mendengar ketukannya. Tapi Hamzah; singa Allah berkata dengan tenang:
نأذَنُ له، فإن كان يريد خيرًا بذَلناه له، وإن كان يريد شرًّا قَتَلْنَاهُ بِسَيْفِهِ
“Buka pintunya. Jika ia datang membawa kebaikan, kita sambut. Jika keburukan, kita habisi dia dengan pedangnya sendiri.”
Tapi Umar tidak datang membawa pedang. Ia datang membawa cahaya. Ia datang untuk memeluk Islam di hadapan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejak hari itu, umat Islam seperti bangkit dari tidur panjang. Kata Ibnu Mas’ud,
كان إسلام عمرَ فتحًا، وهجرته نصرًا، وإمارته رحمة، ولقد كنَّا وما نصلي عند الكعبة حتى أسلم عمر، فلما أسلم قاتَلَ قريشًا حتى صلى عند الكعبة وصلينا معه
“Islamnya Umar adalah kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kekuasaannya adalah rahmat. Kami tak pernah berani shalat di depan Ka’bah, hingga Umar masuk Islam. Lalu ia menghadapi Quraisy, dan kami pun shalat di belakangnya dengan gagah.”
Dengan Umar, angka kaum muslimin genap empat puluh. Maka turunlah firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Wahai Nabi, cukuplah Allah menjadi penolong bagimu, dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” [QS. Al-Anfal: 64]
Hari itu, langit seperti membuka dirinya. Satu jiwa berubah, dan dunia tidak pernah sama lagi.
***
Referensi:
عمر بن الخطاب رضي الله عنه. (n.d.). شبكة الألوكة. Diakses 1 Juli 2025, dari https://cp.alukah.net/sharia/0/57026/عمر-بن-الخطاب-رضي-الله-عنه/
Oleh: Ahmad Anshori, Lc. M.Pd.
Artikel: Remajaislam.com