Bismillah…
Kadang kita ini terlalu percaya pada mata.
Kalau bisa dilihat, maka kita anggap nyata. Kalau tak terlihat, kita sebut mitos, dongeng, atau fiksi.
Sayangnya, hidup tidak sesederhana itu. Tidak semua hal di dunia ini tunduk pada pancaindra. Ada satu wilayah luas yang tak terjamah oleh mikroskop atau teleskop; ia hanya bisa disentuh oleh hati yang percaya. Itulah namanya: iman.
Sesuatu yang tak terlihat, tapi kita rasakan keberadaannya:
Seperti cinta yang tak pernah bisa ditimbang dengan timbangan.
Seperti angin yang tak bisa digenggam, tapi terasa sejuknya.
Seperti kematian yang belum datang, tapi kita tahu pasti.
Begitu juga iman. Ia bukan benda yang bisa dilihat. Tapi ia adalah realitas yang tak terlihat oleh mata, tapi terang di hati.
Ilmu pengetahuan butuh bukti. Iman butuh percaya.
Ilmu pengetahuan mengejar logika pancaindra. Iman bergerak di atas logika yang lebih tinggi: keyakinan kepada kabar yang terpercaya.
Ilmu pengetahuan bersandar pada realita.
Iman bersandar pada berita.
Ilmu pengetahuan butuh kesaksian mata dan telinga.
Iman butuh kepercayaan yang dalam kepada kabar yang dibawa oleh yang jujur.
Coba kau telaah rukun iman satu per satu. Apakah malaikat bisa kau deteksi? Apakah alam barzakh bisa kau uji di laboratorium? Apakah hisab bisa kau simulasikan? Apakah takdir bisa kau otopsi?
Tidak…
Maka jika semua bisa diindera, itu bukan lagi iman. Tapi ilmu pengetahuan.
Iman itu wilayah yang lebih tinggi. Ia tak butuh mikroskop. Ia hanya butuh hati yang yakin. Dan keyakinan itu bukan sembarangan keyakinan. Ada logikanya.
Logika iman adalah percaya.
Logika ilmu pengetahuan adalah menyaksikan.
Tapi bukan berarti iman buta. Karena bahkan dalam ilmu pun, kita tetap percaya pada otoritas. Kita percaya pada dokter saat ia bicara soal virus. Kita percaya pada pilot saat ia terbangkan pesawat. Kita percaya pada insinyur saat ia bangun jembatan.
Kenapa? Karena ada tiga syarat logis sebuah berita bisa diterima:
- Pembawanya harus jujur.
- Ia harus punya kapasitas ilmiah.
- Ia harus menyampaikannya dalam bahasa yang bisa dipahami.
Dan semua syarat itu ada pada Rasulullah ﷺ.
Apakah beliau jujur?
Bahkan sebelum kenabian, gelar beliau di masyarakat Mekkah adalah Al-Amin; yang terpercaya. Orang-orang menyimpan barang di rumahnya. Orang-orang menitipkan amanah padanya. Mereka tahu, beliau bukan pendusta.
Apakah beliau punya kapasitas ilmiah?
Beliau tidak bicara dari dirinya. Ilmunya bersumber dari wahyu. Langsung dari Rabb semesta alam.
قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ…
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu…” (QS. Al-Kahfi: 110)
Apakah bahasa beliau bisa dipahami?
Tentu. Allah turunkan wahyu dengan bahasa Arab yang jelas, agar manusia paham, bisa merenungi, dan tersentuh hatinya.
إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ قُرۡءَٰنًا عَرَبِيّٗا لَّعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti. (QS. Yusuf: 2)
Bahkan kalaupun Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa asing, mereka akan berkata, “Kenapa tidak dijelaskan?”
Tapi Allah telah memilih bahasa paling fasih untuk menyentuh semua bangsa.
قُلۡ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ هُدٗى وَشِفَآءٞۚ
Katakanlah, “Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat: 44)
Maka begitulah logika iman.
Bukan tanpa dasar. Tapi dasarnya adalah kepercayaan kepada pembawa berita yang jujur, berilmu, dan jelas ucapannya.
Dan kita punya semua itu pada diri Rasulullah ﷺ.
Lalu apa yang menghalangi kita untuk percaya?
****
Tulisan ini adalah catatan dari pertemuan da’i Jogja bersama Dr. Sufyan Baswedan, M.A hafidzahullah, yang menyinggung bagaimana iman itu punya logika tersendiri. Ia bukan mimpi. Tapi pondasi dari semua yang nyata di akhirat nanti.
Penulis: Ahmad Anshori, Lc. M.Pd.
Artikel: Remajaislam.com