Bismillah..
Pernah nggak sih kamu ketemu kucing yang dinamain “Zakariya”? Atau mungkin kamu sendiri punya peliharaan bernama “Aisyah”, “Hasan”? Awalnya mungkin lucu. Menggemaskan. Tapi… pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: ini sopan nggak, ya?
Di dunia digital hari ini, nama bukan lagi sekadar identitas. Nama bisa jadi simbol, bisa juga jadi ekspresi. Kita bebas menamai kucing kesayangan kita apa pun. Tapi dalam kebebasan itu, kadang kita lupa: ada nama-nama yang perlu kita jaga kehormatannya.
Karena buat sebagian orang, dan dalam pandangan Islam, nama bukan sekadar panggilan. Nama bisa memuat kemuliaan, bisa mencerminkan kehormatan.
Nah, kalau nama yang kita pakai adalah nama Nabi, sahabat, atau tempat suci… apa nggak ada yang salah?
Dalam Islam, hukum asal dalam hal duniawi adalah boleh, selama tidak ada dalil yang melarang.
الأصل في الأشياء الإباحة
“Asal hukum segala sesuatu adalah mubah (boleh), kecuali ada dalil yang melarangnya.”
Artinya, memberi nama manusia ke hewan peliharaan, seperti kucing, boleh-boleh saja. Bahkan di zaman Nabi ﷺ, hewan pun diberi nama:
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاقَةٌ تُسَمَّى العَضْبَاءَ لَا تُسْبَقُ
“Rasulullah ﷺ memiliki unta bernama Al-‘Adhba’, yang tidak terkalahkan kecepatannya.” (HR. Bukhari no. 2872)
Jadi, menamai hewan itu wajar. Bukan masalah. Masalahnya muncul ketika nama itu punya kehormatan khusus.
Fatwa para ulama menyebutkan bahwa memberi nama kucing atau hewan lain dengan nama para Nabi, sahabat, atau tempat suci, adalah bentuk yang bisa dianggap merendahkan.
Seperti dalam fatwa Islam:
أما إطلاق أسماء البشر عليها، فالأصل جوازه… إلا أنه يُستثنى من ذلك، أسماءُ الأنبياء والصحابة، وكذلك أسماءُ البقاع الشريفة…
“Pada dasarnya, memberi nama manusia kepada hewan diperbolehkan. Tapi dikecualikan: nama para Nabi, sahabat, tempat-tempat suci, dan sejenisnya…” (Islamweb.net)
Kenapa?
Karena bisa jadi itu bentuk ketidaksopanan, pelecehan simbolik, bahkan bisa jatuh pada kekufuran atau kefasikan jika dilakukan dengan niat merendahkan.
Bayangin kamu lagi manggil kucing, “Zakariya, ayo makan!” atau “Aisyah, jangan buang kotoran di situ!”
Buat kamu, mungkin itu hal biasa. Tapi bayangin ada anak kecil yang dengar. Dia belum tahu kalau itu cuma nama kucing. Apa kesannya terhadap nama “Zakariya” setelah itu? Sementara kamu tahu Zakariya itu nama Nabi ‘alaihissalam.
Atau saat ada teman non-Muslim main ke rumah, lalu kamu bilang, “Itu kucing gue namanya Umar.” Apa yang mereka pelajari soal Islam dari situ?
Kadang hal kecil yang kita anggap remeh, bisa jadi bias dalam pemahaman yang lebih besar.
Solusinya simpel: pilih nama kucing yang lucu, unik, dan nggak menyinggung kehormatan siapa pun. Dunia ini penuh dengan nama-nama indah, kreatif, bahkan Islami, tanpa harus mengambil nama Nabi atau tempat suci.
Kamu bisa pakai nama dari sifat (Miski – yang wangi), benda alam (Bulan, Embun), atau nama khas Arab yang tidak bermakna religius simbolik (Lulu, Zuzu, Faris).
Yang penting, kita tetap jaga rasa hormat. Karena Islam bukan cuma soal ibadah, tapi juga adab.
Kesimpulan
Menamai kucing dengan nama manusia itu boleh, tapi jaga adab. Nama-nama seperti Nabi, sahabat, atau tempat suci punya kehormatan yang nggak bisa diperlakukan sembarangan.
Karena dalam Islam, nama bukan sekadar kata. Ia adalah kehormatan, sejarah, bahkan kemuliaan di sisi Allah. Yuk, jaga lisan dan pilihan kita, bahkan dalam hal sekecil menamai peliharaan.
Karena dari hal kecil, lahirlah pribadi besar.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori Lc., M.Pd.
Artikel: Remajaislam.com