Hadis tersebut bersumber dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu- dikisahkan bahwa ada seorang menemui Nabi untuk meminta nasehat. Lalu Nabi berpesan kepadanya,
لَا تَغْضَبْ
“Jangan marah.”
Orang itu mengulang kembali permintaanya, Nabi menjawabnya sama, “Jangan marah.”
Kemudian tentang hikmah dari nasehat singkat yang disampaikan Nabi kepada orang tersebut, diterangkan dalam riwayat lain, yang bersumber dari Humaid bin Abdurrahman, beliau mendapatkan hadis dari sejumlah sahabat Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-,
قَالَ الرَّجُلُ : فَفَكَّرْتُ حِينَ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ مَا قَالَ، فَإِذَا الْغَضَبُ يَجْمَعُ الشَّرَّ كُلَّهُ»
“Seorang berkata, “Setelah aku pikirkan dalam-dalam tentang nasehat singkat Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- ini, ternyata tampaklah bawah seluruh keburukan itu berkumpul di dalam sifat marah.” (HR. Ahmad)
Nasehat dari Nabi ini megandung dua pelajaran yang amat penting:
Pertama, hadis ini mengajak seorang muslim berupaya melatih diri untuk berakhlak terpuji.
Seperti sabar, tabah, tidak tergesa-gesa, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Saat berhadapan dengan kemarahan, ia akan berusaha melawannya dengan menampakkan akhlak yang indah, etika yang baik, ketenangan dan kesabaran yang elegan.
Kedua, ketika marah itu telah muncul, apapun sebabnya, seorang muslim perlu mengendalikan diri dalam berkata-kata dan berbuat.
Berusahalah untuk tidak mengucapkan satu patah kata apapun atau mengekspresikannya dengan perbuatan apapun, saat sedang marah, sampai kemarahan itu betul-betul telah mereda.
Siakh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di -rahimahullah- menerangkan makna hadis ini:
هذا الرَّجل ظَنَّ أَنَّهَا وصِيَّة بأمر جزئي، وهو يريد أن يوصيه النّبي بكلام كُلّي، ولهذا ردد فلما أعاد عليه النَّبِيُّ عرف أنَّ هذا كلام جامع . وهو كذلك؛ فإنَّ قوله: «لا تَغْضَبْ» يتضمن أمرين عظيمين
أحدهما: الأمر بفعل الأسباب والتّمرن على حسن الخلق، والحلم والصبر، وتوطين النفس على ما يصيب الإنسان من الخلق، من الأذى القولي والفعلي،
فإذا وفّق لها العبد، وورد عليه وارد الغضب احتمله بحسن خلقه، وتلقاه بحلمه وصبره، ومعرفته بحسن عواقبه؛ فإنَّ الأمر بالشَّيء أمر به، وبما لا يتم إلا به. والنهي عن الشَّيء أمر بضده. وأمر بفعل الأسباب التي تعين العبد على اجتناب المنهي عنه، وهذا منه
الثاني: الأمر – بعد الغضب – ألا يُنفذ غضبه؛ فإنَّ الغضب غالبا لا يتمكن الإنسان من دفعه ورده، ولكنه يتمكن من عدم تنفيذه. فعليه إذا غضب أن يمنع نفسه من الأقوال والأفعال والمُحَرَّمة التي يقتضيها الغضب.
فمتى منع نفسه من فعل آثار الغضب الضَّارة، فكأنه في الحقيقة لم يغضب. وبهذا يكون العبد كامل القُوَّة العقلية، والقُوَّة القلبية، كما قال : «لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ . فكمال قوة العبد: أن يمتنع من أن تُؤثر فيه قُوَّة الشهوة، وقُوَّة الغضب الآثار السيئة، بل يصرف هاتين القوتين إلى تناول ما ينفع في الدين والدنيا، وإلى دفع ما يضرُّ فيهما. فخير الناس من كانت شهوته وهواه تبعا لما جاء به الرَّسُول ، وغضبه ومدافعته في نصر الحقِّ على الباطل، وشرُّ النَّاس من كان صريع شهوته وغضبه. ولا حول ولا قوة إلا بالله. هذا، وجماع الخلق في أربعة أحاديث من حَفِظها وحقَّقها جمع أصول الأخلاق والآداب
قال أبو محمد بن أبي زيد القيرواني : جماعُ آداب الخير وأزمته تتفرع من أربعة أحاديث: قول النبي : «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ ، وقوله : مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ ، وقوله للَّذِي اختصر له في الوصية “لا تغضب”، وقوله : الْمُؤْمِنُ يُحِبُّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .
في الحديث الأول : الإرشاد إلى ضبط اللسان، بالتفكر والتدبر فيما سيقوله، فإن كان فيه خير نطق به، وإن كان فيه شرّ أمسك عنه، وإن اشتبه عليه فلا يدري أخير هو أم شرٌّ أمسك عنه ، ومَن. لم يضبط لسانه لم يكن من أهل حسن الخلق.
وفي الثاني الإرشاد إلى ترك الفضول، من القول والسَّماع والنظر ونحو ذلك.
وفي الثالث: الإرشاد إلى ضبط النفس وعدم الانسياق مع انفعالات النفس ورعونتها.
وفي الرابع: الإرشاد إلى سلامة قلب المؤمن تجاه إخوانه المسلمين، فلا يكون فيه غلّ، ولا حقد، ولا حسد، ولا غير ذلك من أدواء القلوب. أصلح الله قلوبنا وزگا سرائرنا وهدانا إليه صراطا مستقيما.
“Orang tersebut mengira bahwa nasehat tentang marah itu adalah nasehat yang sempit. Sementara ia ingin mendapatkan nasehat yang general/luas. Oleh karenanya sahabat tersebut mengulang-ulang permintaan nasehat. Begitu Nabi mengulangi kembali nasehat yang sama, sahabat ini barulah menyadari bahwa ternyata ini nasehat yang luas maknanya. Karena kalimat “Jangan marah.” mengandung dua perintah:
Pertama, perintah untuk mengupayakan sebab agar tidak marah, berlatih berakhlak baik, bersikap tenang dan sabar, serta menguasai diri saat mengalami hal yang tidak nyaman dari sesama makhluk, bisa berupa gangguan berbentuk ucapan atau perbuatan.
Jika seorang hamba diberi taufik oleh Allah, lalu saat ia marah ia berusaha menghadapinya dengan akhlak yang mulia, ia tenang dan bersabar, ditambah pengetahuannya bahwa akibat dari merespon marah dengan seperti akan baik, maka perintah kepada suatu perbuatan itu berarti mengandung perintah untuk melakukan perbuatan itu dan segala upaya yang tanpa kehadirannya perintah itu menjadi tidak sempurna dikerjakan. Selanjutnya, larangan dari suatu perbuatan menunjukkan perintah untuk melakukan perbuatan sebaliknya. Serta perintah untuk melakukan sebab-sebab yang dapat membantu seorang meninggal larangan. Kesimpulan ini diambil dari prinsip-prinsip tersebut.
Kedua, perintah setelah marah terjadi untuk tidak mengekspresikan. Karena biasanya saat sedang marah orang itu sulit menolaknya. Namun ia mampu untuk menahannya. Maka di saat marah, seyogyanya seorang menahan diri untuk tidak berbicara, berbuat dan melakukan tindakan haram yang muncul dari marah.
Di saat seorang tidak melakukan perbuatan yang muncul dari marah yang membahayakan, maka sebenarnya ia tidak jadi marah. Dengan demikian ia menjadi orang yang kuat akalnya dan kuat hatinya. Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ .
“Orang yang memang bukan orang yang menang bertarung. Namun orang yang menang adalah yang mampu menguasai diri di saat sedang marah.” (Riwayat Bukhari 6114, dan Muslim 2609).
Kesempurnaan kekuatan seorang hamba adalah ia menahan diri dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh kekuatan syahwat dan kekuatan amarah. Sebaliknya, dia mengarahkan kedua kekuatan ini untuk memakan apa yang bermanfaat bagi agama dan dunia, dan menolak apa yang berbahaya di dalamnya.
Sebaik-baik manusia adalah mereka yang keinginan dan nafsunya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasul, dan orang yang marahnya adalah untuk membela kebenaran atas melawan kebatilan. Seburuk-buruknya manusia adalah mereka yang tunduk pada keinginan dan kemarahannya. Tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah.) (Bahjah Qulub Al Abrar, karya As Sa’di, hal. 163-164)
Sekian, wallahulmuwaffiq.
Referensi:
Al-Badr, Abdurazzaq bin Abdulmuhsin, (1444H). Ahadits Ishlah Al-Qulub, Dar Imam Muslim, Madinah, Saudi Arabia.
Ahmad Anshori
Copyright RemajaislamCom