Bismillah…
Saya pernah ngobrol dengan seorang direktur perusahaan konveksi di Jogja, beliau merintis usaha sejak kuliah. Di usia sekitar 27 tahun beliau pernah marah besar dan memecat 12 karyawannya. Keputusan itu membuat beliau menyesal hingga saat ini, di usia je 30 tahun beliau bisa lebih tenang dan dewasa. Dari kejadian tersebut beliau menyampaikan pelajaran hidup yang amat mahal, yaitu sabar itu hasilnya akan menenangkan dan manis.
Sebagai seorang pendidik tentu kesabaran lebih perlu diupayakan. Sabar bagi seorang pendidik adalah bekal yang pokok. Mendidik tanpa sabar itu seperti bersafar tanpa berbekal, kalau sudah seperti ini ya hanya ada dua kemungkinan; kalau tidak muter balik ya binasa oleh kelaparan. Artinya, mendidik tanpa sabar adalah kegagalan dalam pendidikan.
Sabar dalam mendidik amat diperlukan karena mendidik bukan proses yang instan, bukan proses yang singkat, namun mendidik merupakan proses yang panjang. Tak ada perubahan menuju kualitas yang diperoleh tanpa perjuangan dan proses yang panjang. Dan mendidik adalah upaya mengubah manusia untuk menjadi insan yang berkualitas.
Di samping itu, menjadi pendidik adalah tugas yang beresiko mendapatkan cobaan-cobaan yang menantang, bisa dari respon murid yang menyebalkan, waktu mengajar yang padat, keaneka ragaman karakter dan budaya; guru harus bisa menjadi penengah yang bijak sekaligus membina, masalah ekonomi dan masih banyak lagi cobaan yang dirasakan guru.
Kalau kita perhatikan sirah Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-, kita akan dapati bahwa beliau adalah pendidik dengan kesabaran yang sangat tinggi. Beliau telah bersabar atas gangguan kaumnya pada fisinya bahkan pada nyawanya. Sampai menjadi jelaslah ketulusan beliau dan kebenaran yang beliau bawa. Hingga membuat orang-orang yang dahulunya amat membenci dan memusuhi, menjadi amat mencintai dan mebela.
Referensi:
As-Shuri, Yusuf Khotir Hasan. Asaalib Ar-Rasul fi Ad-Da’wah wat tarbiyah. Shunduq At-Kakaful.
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com