Bismillah…
Mari kita pelajari pesan membangun diri dari hadis ini:
Dari Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu’anhu-, beliau mengatakan, “Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda:
اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Beramal lah, setiap orang akan dimudahkan sesuai takdirnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
_______________
Dalam bahasan tentang membangun diri (self devolepment), hadis ini bisa dipahami bahwa untuk menjadi pribadi yang sukses, seorang harus mengenali bakatnya dan berusaha memahami kecerdesannya dalam bentuk apa. Itulah yang biasa disebut Multiple Intelligence (الذكاء المتعددة), dimana manusia memiliki kecerdasan yang beraneka ragam yang mana salahsatunya lebih menonjol dari yang lain dan menjadi keunikannya.
Teori ini pertamakali dikenalkan oleh seorang peneliti di Harvard School of Education and Harvard Project Zero, Howard Gardner. Beliau melihat bahwa kecerdasan adalah sekumpulan keterampilan yang memungkinkan individu untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan. Konsep kecerdasan menurutnya berbeda dari konsep tradisional yang hanya membatasi kecerdasan manusia hanya pada IQ saja. Namun sejatinya manusia memiliki kecerdasan yang beraneka ragam, yaitu:
-
Kecerdasan Bahasa.
-
Kecerdasan Visual atau Spasial.
-
Kecerdasan Musik.
-
Kecerdasan Logis-Matematis.
-
Kecerdasan Kinestetik.
-
Kecerdasan Interpersonal.
-
Kecerdasan Intrapersonal.
-
Kecerdasan Naturalis.
Gardener memberinya makna yang lebih luas tentang kecerdesan, bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai dan bermanfaat dimana seorang itu hidup.
Teori ini memperluas konsep kecerdasan manusia, melampaui batasan yang digambarkan oleh teori-teori tradisional yang berfokus pada kecerdasan yang bergantung pada faktor keturunan atau hanya terbatas pada kecerdasan IQ saja.
Gardner percaya bahwa sudah saatnya kita melepaskan pandangan sempit tentang kecerdasan yang hanya diukur dengan angka IQ. Sebaliknya, kita perlu lebih memperhatikan bagaimana keterampilan hidup berkembang secara alami dalam konteks budaya masing-masing. Misalnya, Gardner menyoroti para pelaut yang mengandalkan pengamatan bintang dan gerakan air untuk menentukan arah di tengah lautan. Walaupun mereka tidak mendapatkan nilai yang tinggi pada tes kecerdasan umum, mereka jelas memiliki kecerdasan dalam konteks keterampilan yang mereka miliki.
Kedelapan jenis kecerdasan di atas bukan berarti pada masing-masing manusia hanya memiliki satu atau sebagian dari kecerdesan-kecerdasan tersebut. Namun setiap kita terkumpul padanya seluruh kecerdasan tersebut, dan memungkinkan untuk mempertajam setiap kecerdesan tersebut. Hanya saja, pengaruh lingkungan, motivasi diri, kecenderungan atau minat seseorang, menjadikan ia lebih menonjol pada salahsatu atau lebih dari 8 jenis kecerdasan di atas.
Lantas dimanakah letak relevansi hadis dengan teori ini?
Hadis di atas berbicara tentang iman kepada takdir. Agar lebih jelas, mari coba kita baca keseluruhan hadis:
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata bahwa suatu ketika Nabi Muhammad ﷺ duduk dengan para sahabatnya dan kemudian mengambil sesuatu untuk ditulis di tanah. Beliau berkata, “Tidak ada satu pun di antara kalian kecuali telah ditentukan tempatnya di surga atau neraka.” Para sahabat kemudian bertanya,
يا رسول الله، أفلا نتكل على كتابنا وندع العمل؟
“Ya Rasulullah, kalau begitu, apakah kita harus pasrah pada apa yang sudah dituliskan bagi kita dan tidak perlu berusaha lagi?”
Nabi ﷺ menjawab,
“اعملوا فكلٌّ ميسر لما خلق له، أما من كان من أهل السعادة فيُيسر لعمل أهل السعادة، وأما من كان من أهل الشقاوة فيُيسر لعمل أهل الشقاوة.”
“Berusahalah, karena setiap orang akan dimudahkan untuk melakukan apa yang ia diciptakan. Jika seseorang diciptakan sebagai bagian dari orang-orang yang berbahagia, maka ia akan dimudahkan untuk melakukan amalan-amalan orang yang berbahagia. Sebaliknya, jika seseorang termasuk dari orang-orang yang celaka, maka ia akan dimudahkan untuk melakukan amalan-amalan orang yang celaka.”
Kemudian beliau membacakan ayat:
فَاَمَّا مَنۡ اَعۡطٰى وَاتَّقٰىۙ
Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
وَصَدَّقَ بِالۡحُسۡنٰىۙ
dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga),
وَكَذَّبَ بِالۡحُسۡنٰىۙ
Serta mendustakan (pahala) yang terbaik,
فَسَنُيَسِّرُهٗ لِلۡعُسۡرٰىؕ
Maksudnya adalah bahwa Allah, dengan ilmu-Nya yang azali, mengetahui nasib manusia, namun Dia menyembunyikannya dari manusia. Oleh karena itu, yang dituntut darinya adalah beramal, karena manusia adalah pelaku sejati dari amalnya, dan Allah memudahkannya dalam urusannya. Maka, barang siapa yang memilih jalan kebenaran, Allah akan memudahkannya menuju kebaikan dan jalan-jalan kebaikan. Dan siapa yang memilih jalan keburukan, maka Allah akan memudahkannya menuju jalan keburukan. Di sini sudah mulai terlihat ya relevansinya. Artinya, Allah ta’ala telah menciptakan dalam diri kita kemampuan-kemampuan yang membentuk berbagai jenis kecerdasan, dan Dia membagikan kemampuan-kemampuan ini kepada setiap manusia. Setiap orang memiliki kemampuan yang unik dan berbeda dari yang lainnya. Kesimpulan ini senada dengan ayat ini,
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Ditulis: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com