Saatnya Menjaga Habit Baik dari Ramadhan
Ramadhan telah berlalu, namun semangat ibadah tidak boleh ikut berlalu. Justru, bulan Syawal adalah momen terbaik untuk melanjutkan dan menjaga kebiasaan-kebiasaan baik yang telah terbentuk selama Ramadhan.
1. Melanjutkan Puasa dengan Puasa Syawal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu diikuti dengan enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun.”
(HR. Muslim no. 1164)
Hadits ini adalah isyarat bahwa ibadah tidak berhenti di Ramadhan. Justru Rasulullah mengajarkan kita untuk menjaga keberlanjutan puasa, sebagai bentuk syukur dan pengokohan amal.
Secara jasmani pun, lambung kita telah beradaptasi selama Ramadhan. Sayang sekali bila kebiasaan baik itu justru dihentikan, padahal tubuh sudah siap.
2. Menjaga Habit Ibadah Lainnya
Selain puasa, banyak amalan lain yang biasa dilakukan selama Ramadhan dan selayaknya dijaga di bulan Syawal dan seterusnya, antara lain:
- Tilawah Al-Qur’an
Jadikan membaca Al-Qur’an sebagai habit harian.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinu, meskipun sedikit.”
(HR. Bukhari dan Muslim) - Qiyamul Lail
Bila di Ramadhan kita terbiasa dengan tarawih dan tahajud, lanjutkan dengan tahajud atau witir walau sedikit. - Sedekah
Tetaplah ringan tangan dalam berbagi. Jangan biarkan semangat berbagi hanya hidup di bulan Ramadhan. - Menjaga lisan dan akhlak
Ramadhan adalah latihan untuk menahan amarah, menghindari ghibah, dan menjaga tutur kata. Syawal adalah ladang pembuktiannya.
3. Jadilah Rabbaniyyun, bukan Ramadhaniyyun.
Jangan cuma jadi orang baik di bulan Ramadan (Ramadhaniyyun). Tapi jadilah hamba Allag di sepanjang waktu (rabbaniyyun).
Itu loh, orang-orang yang hidupnya selalu terhubung dengan Tuhan. Bukan musiman. Tapi memang karena cinta, karena sadar diri, karena ketulusan memghamba kepada yang Maha Kuasa. Allah ta’ala pernah bilang dalam kitab-Nya:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Tidak patut bagi seorang manusia yang telah diberi kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata: ‘Jadilah penyembahku, bukan penyembah Allah.’ Tapi seharusnya dia berkata: ‘Jadilah kalian orang-orang rabbani, karena kalian belajar dan mengajarkan kitab suci itu.'” (Ali Imran: 79)
Jadi, siapa itu rabbani?
Mereka bukan orang suci. Mereka juga punya salah. Tapi mereka ikhlas. Mereka jujur dalam ibadah. Mereka terus belajar dan terus berjuang beramal baik. Mereka takut kepada Allah, sepanjang waktu.
Lalu, gimana caranya jadi orang seperti itu?
Bukan dengan kekuatan besar, tapi dengan tekad kecil yang terus dijaga. Dengan salat yang tak ditunda. Dengan langkah ke masjid meski lelah. Dengan membaca Al-Qur’an walau cuma satu halaman sehari. Dengan dzikir yang dibisikkan pelan, dan istighfar yang keluar dari hati yang merasa butuh ampunan.
Bukan soal banyak-banyakan. Tapi soal ketulusan dan kontinu. Karena Rasulullah pernah bilang:
أحبُّ الأعمالِ إلى الله أدومُها وإنْ قلَّ
“Amalan yang paling dicintai Allah itu… yang konsisten. Meski cuma sedikit.” (HR. Bukhari-Muslim)
4. Istiqamah: Tanda Diterimanya Ibadah
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
كُونُوا لِقَبُولِ الْعَمَلِ أَشَدَّ اهْتِمَامًا مِنْكُمْ بِالْعَمَلِ، أَلَمْ تَسْمَعُوا اللَّهَ يَقُولُ: ﴿إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Jadilah kalian lebih perhatian terhadap diterimanya amal daripada sekadar banyaknya amal. Tidakkah kalian mendengar firman Allah:
‘Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.’” (QS. Al-Ma’idah: 27)
Salah satu tanda diterimanya ketaatan adalah ketika seorang hamba dimudahkan untuk melakukan ketaatan berikutnya.
Begitu pula, di antara tanda diterimanya satu kebaikan adalah lahirnya kebaikan lain setelahnya. Karena kebaikan itu akan berkata: “Saudariku! Saudariku!”—seolah memanggil kebaikan yang serupa untuk ikut datang.
Ini adalah bentuk kasih sayang dan kemuliaan dari Allah Ta’ala. Ketika seorang hamba melakukan satu amal baik dengan penuh keikhlasan, Allah bukakan pintu amal baik lain untuknya—agar dia makin dekat kepada-Nya.
Amal saleh itu ibarat pohon yang baik. Ia butuh disirami dan dirawat. Supaya tumbuh, kuat, dan akhirnya berbuah. Dan hal terpenting yang kita butuhkan adalah: menjaga amal-amal baik yang pernah kita lakukan. Menjaganya, merawatnya… lalu menambah sedikit demi sedikit.
Banyak dalil yang menjadi dasar hal ini, diantaranya:
Firman Allah ta’ala:
وَيَزِيدُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ٱهْتَدَوْا۟ هُدًى ۗ
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada orang-orang yang telah mendapat petunjuk…”
Ayat ini menunjukkan bahwa jika seseorang sudah mendapat hidayah (petunjuk), Allah akan tambah lagi petunjuk dan kebaikan untuknya. Ini menguatkan bahwa kebaikan akan melahirkan kebaikan berikutnya.
Kamudian QS. Al-Lail: 5–7
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ
“Adapun orang yang memberi (di jalan Allah), bertakwa, dan membenarkan adanya pahala terbaik (surga), maka Kami akan mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebaikan).”
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan amal baik akan Allah mudahkan baginya jalan-jalan kebaikan yang lain.
Oleh karenanya para ulama mengatakan:
“إن من ثواب الحسنة الحسنة بعدها، وإن من عقوبة السيئة السيئة بعدها.”
“Sesungguhnya balasan dari satu kebaikan adalah kebaikan setelahnya, dan hukuman dari satu dosa adalah dosa setelahnya.”
Inilah yang disebut istiqamah.
Konsisten dalam kebaikan—bukan karena dipuji, bukan karena momen. Tapi karena kita ingin terus berjalan menuju Tuhan kita, tanpa henti.
Kesimpulan:
Syawal bukanlah penutup semangat Ramadhan, tapi awal dari keistiqamahan. Jadikan puasa enam hari Syawal sebagai penguat kebiasaan, dan lanjutkan amalan-amalan Ramadhan agar menjadi karakter kita sepanjang tahun.
Wallahu a’lam.
Ahmad Anshori
Remajaislam.com