Bismillah…
Ada taubat yang kita kenal: meninggalkan dosa dan kembali kepada Allah. Tapi adakah kita tahu, bahwa bahkan dalam amal baik pun, tersembunyi cela yang patut kita tangisi?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa seorang hamba bisa saja bertaubat… bukan hanya dari dosa-dosanya, tetapi juga dari amal saleh yang ia kira telah membawa dekat kepada Allah.
:توبة الإنسان من حسناته على أوجه
١-أن يتوب ويستغفر من تقصيره فيها.
٢-أن يتوب مما كان يظنه حسنات ولم يكن، كحال أهل البدع.
٣-أن يتوب من إعجابه ورؤيته أنه فعلها وأنها حصلت بقوته، وينسى فضل الله وإحسانه وأنه هو المنعم بها، وهذه توبةٌ من فِعْلِ مذمومْ وَتَرْكِ مأمورٍ).
“Taubat seseorang dari amal kebaikannya terbagi menjadi beberapa bentuk:
Ia bertaubat dan memohon ampun atas kekurangannya dalam melaksanakan kebaikan tersebut.
Ia bertaubat dari amalan yang disangkanya sebagai kebaikan, padahal sebenarnya bukan, sebagaimana keadaan para pelaku bid’ah.
Ia bertaubat dari rasa bangga dan keyakinan bahwa ia telah melakukan kebaikan itu dengan kekuatannya sendiri, serta melupakan karunia dan kebaikan Allah, padahal Dialah yang sebenarnya menganugerahkan amal tersebut.
Ini adalah bentuk taubat dari perbuatan yang tercela dan dari meninggalkan sesuatu yang seharusnya diperintahkan.” (Majmu’ Al-Fatawa 687-688)
Betapa dalam dan lembutnya nasihat ini; menunjukkan bahwa hati yang hidup tak cukup puas dengan kebaikan lahiriah semata.
Pertama, ia bertaubat dari kekurangannya dalam kebaikan. Ia merasa bahwa shalatnya mungkin belum khusyuk. Sedekahnya barangkali bercampur riya. Kalimat dzikirnya mungkin hampa dari kehadiran hati. Maka ia memohon ampun, bukan karena maksiat, tapi karena belum cukup baik dalam berbuat baik.
Kedua, ia bertaubat dari amal yang disangkanya benar, padahal keliru. Ia menyangka amalan itu ibadah, padahal menyimpang dari sunnah. Seperti orang-orang yang rajin ibadah, tetapi dibangun di atas bid’ah. Maka ia kembali, dengan hati tunduk, meminta ampun atas kesalahannya dalam memahami agama.
Ketiga, ini yang paling halus dan dalam: ia bertaubat dari rasa memiliki dalam amalnya. Ia menyangka bahwa kebaikan itu hasil usahanya semata. Ia lupa, bahwa tidak ada satu pun amal yang terjadi kecuali dengan taufik Allah. Ia kagum kepada dirinya, merasa hebat, merasa mulia. Lalu terlupa untuk bersyukur.
Inilah taubat dari sifat ujub, dari lupa kepada Allah, dari mengira bahwa dirinya-lah yang mencipta amal saleh itu. Padahal, setiap desir kebaikan dalam jiwa, setiap gerak ringan menuju masjid, setiap hati yang bergetar saat sujud itu semua adalah anugerah. Dan karunia terbesar itu seringkali kita remehkan: hidayah untuk mencintai kebaikan.
Maka betapa benarlah sabda Nabi ﷺ:
إنما الأعمال بالخواتيم
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada akhirnya.”
Dan betapa lemahnya kita jika hanya mengandalkan apa yang terlihat baik, tanpa terus memperbaiki niat dan menundukkan hati.
Semoga Allah jadikan kita hamba yang senantiasa kembali, bukan hanya dari dosa, tapi dari segala sesuatu yang menghalangi rasa butuh dan hina di hadapan-Nya. Sebab taubat bukan hanya soal meninggalkan maksiat, tapi juga membersihkan jiwa dari perasaan cukup.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori Lc., M.Pd.
Artikel: Remajaislam.com