Masalah aurat perempuan tidak bisa disikapi secara serampangan. Ia perlu penjelasan yang terperinci, karena aurat seorang wanita berbeda-beda sesuai dengan siapa yang ada di hadapannya.
Pertama, aurat wanita di hadapan laki-laki non-mahram (ajnabi) adalah seluruh tubuhnya. Inilah pendapat jumhur ulama. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam satu titik: apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat atau tidak? Sebagian ulama menegaskan termasuk aurat sehingga wajib ditutup, sementara sebagian lain memandang wajah dan telapak tangan bukan aurat, namun tetap wajib ditutup karena khawatir menimbulkan fitnah.
Kedua, aurat wanita di hadapan sesama wanita adalah antara pusar sampai lutut. Batasan ini sama seperti aurat laki-laki terhadap laki-laki, kecuali jika di hadapan wanita kafir, maka sebagian ulama memberikan rincian tambahan yang lebih ketat.
Ketiga, aurat wanita di hadapan mahramnya lebih longgar. Ia boleh menampakkan bagian tubuh yang biasa terlihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti kepala, rambut, leher, lengan, dan betis. Namun tetap ada batasan adab yang harus dijaga. Rinciannya bisa ditemukan dalam kitab-kitab fiqh para ulama.
Selain itu, syariat juga memberi rukhshah (keringanan) pada kondisi tertentu. Misalnya dalam keperluan pengobatan, maka boleh terlihat bagian tubuh yang diperlukan sesuai kadar kebutuhan. Demikian pula ketika seorang wanita harus menjadi saksi dalam sebuah kasus, atau melakukan transaksi jual-beli, maka wajah bahkan kadang telapak tangannya boleh terlihat, karena kebutuhan untuk dikenali.
Imam al-Buhuti dalam Manar as-Sabil menjelaskan:
الثالث: نظره للشهادة عليها، أو لمعاملتها، فيجوز لوجهها، وكذا لكفيها للحاجة، أي: لحاجته إلى معرفتها بعينها، للمطالبة بحقوق العقد، ولتحمل الشهادة، وأدائها
“Jenis ketiga: melihat untuk keperluan menjadi saksi atau melakukan muamalah. Maka boleh melihat wajahnya, juga telapak tangannya, sesuai kebutuhan, yaitu agar ia bisa dikenali dengan jelas, baik untuk menunaikan hak akad maupun untuk menanggung kesaksian dan menyampaikannya.” (selesai)
Maka dari itu, Islam mengatur masalah aurat perempuan dengan rinci, adil, dan realistis. Tidak ada sikap berlebihan, namun juga tidak membuka celah untuk kerusakan. Semua dikembalikan pada kaidah besar:
“Menutup yang bisa menimbulkan fitnah, dan memberi keringanan pada kondisi darurat atau kebutuhan syar’i.”
Referensi:
- Islamweb. (17 April 2019). التفصيل في عورة المرأة (فتوى رقم 396370). استرجع من إسلام ويب: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/396370/
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com