Syaikh Prof. Ibrahim Ar Ruhaili -hafidzohullah- di dalam buku beliau “Bayan Manhaj Ahlis Sunnah fil Amri bin Ma’ruf Wan Nahyi ‘anil Munkar (Metodelogi Ahlussunah dalam Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar)”, menukil penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullan- tentang batasan-batasan mengingkari kemungkaran,
ولهذا لا يجوز إنكار المنكر بما هو أنكر منه، ولهذا حرم الخروج على ولاة الأمر بالسيف؛ لأجل الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، لأن ما يحصل بذلك من فعل المحرمات وترك واجب أعظم مما يحصل بفعلهم المنكر
“Tidak boleh mengingkari kemungkaran yang kemudian menyebabkan munculnya kemungkaran yang lebih parah. Oleh karenanya Islam melarang memberontak kepada penguasa yang sah, dengan alasan amar ma’ruf nahi mungkar. Karena dampak buruk dari pemberontak berupa pelanggaran -pelanggaran agama yang dilanggar dan kewajiban yang ditinggalkan, akan lebih parah daripada kemungkaran yang sedang dilakukan oleh pemerintah pada saat ini.” (Majmu’ Fatawa, 14/472).
Ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– di atas sejalan dengan pesan-pesan yang mulia Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berikut:
يَا عُبَادَةُ قُلْتُ: لَبَّيْكَ قَالَ:اِسْمَعْ وَأَطِعْ فِي عُسْرِكَ ويُسْرِكَ َومَكْرَهِكَ وَأثَرَةٍ عَلَيْكَ وَإِنْ أَكَلوا مَالَكَ وَضَرَبُوا ظَهْرَكَ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ مَعْصِيَةً ِللهِ بَوَاحًا
“Wahai ‘Ubadah!” ‘Ubadah menjawab, “Labbaik (kami memenuhi panggilanmu, wahai Rasul).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Dengarlah dan taatlah dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan benci dan tidak disukai, walaupun mereka memakan hartamu dan memukul punggungmu, kecuali kalau jelas itu maksiat pada Allah.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya, 4566)
عَلىَ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan, maka tidak perlu mendengar dan taat.” (HR. Bukhari, no. 7144 dan Muslim, no. 1839)
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa yang tidak suka sesuatu pada pemimpinnya, bersabarlah. Barangsiapa yang keluar dari ketaatan pada pemimpin barang sejengkal, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849)
Kemudian Syaikh Prof. Ibrahim Ar-Ruhaili menguatkan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas dengan Syarah beliau (kami nukil secara makna):
“Kekacauan yang lebih parah dari sebelum terjadi kudeta itu terjadi di sejumlah negeri hari ini yang melengserkan pemimpinnya yang sah. Mereka dahulu melengserkan pemimpin mereka karena alasan pemimpin tersebut dzolim. Sekarang mereka mengalami kedzoliman dan kesengsaraan yang lebih parah. Mereka menyesali aksi seperti itu, “Andai kita bisa memutar sejarah, rasanya ingin kembali ke zaman itu, lalu meminta maaf kepada pemimpin yang kami lengserkan.”
Lihatlah saudaraku…
Bagaimana ahlussunah mewanti-wanti umat sebelum terjadinya bencana dan penyesalan itu.
Syaikh Ibrahim menceritakan sebuah ucapan yang diucapkan oleh provokator kudeta di sebuah negeri yang terjadi kudeta di timur tengah, “Semua rakyat keluar rumah untuk melengserkan pemimpin dzolim itu kecuali kaum salafi.”
Sekarang lihat, apa yang mereka dapatkan dari kudeta itu?! Keadaan negera tak jadi lebih baik, kemerosotan di setiap lini negeri, ekonomi, moral, pendidikan!
Maka mari kita sayangi negeri ini, negeri Indonesia. Jagalah kedamaiannya. Jagalah nikmat Allah berupa ketenangan menjalankan agama Islam, berdakwah, belajar, keamanannya. Belajarlah dari negeri -negeri itu, dari orang-orang yang tak mempedulikan prinsip-prinsip ahlussunah dalam menyikapi penguasa yang dzalim.
Pepatah mengatakan,
السعيد من اتعظ بغيره
“Orang yang sukses itu, yang mau mengambil pelajaran dari kesalahan orang lain.”
***
- Faidah dari Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili -hafidzohullah-. Dalam dauroh Syar’iyah ke #7 – Pondok Pesantren Imam Bukhari Solo.
Solo, 19 Jumadas Tsani 1444 H.
Penulis : Ahmad Anshori
Artikel : RemajaIslam.com