Yang jelas, silaturahmi adalah ibadah. Banyak ayat dan hadis menjelaskan perintah dan motivasi silaturahmi. Bila amalan ini adalah ibadah, tentu pada dasarnya niat melakukan perbuatan ini untuk mendapatkan pahala di akhirat. Sebagaimana ketentuan Islam yang berlaku dalam semua amalan ibadah, tak boleh sedikitpun ada niatan untuk mencari keuntungan dunia. Bahkan bila amal akhirat diniatkan mencari dunia semata, alih – alih mendapat pahala di akhirat, justru mendapat azab. Karena Allah menegaskan dalam Al-Quran,
مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيۡهِمۡ أَعۡمَٰلَهُمۡ فِيهَا وَهُمۡ فِيهَا لَا يُبۡخَسُونَ
Siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيۡسَ لَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَٰطِلٞ مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Hud: 15 – 16)
Namun, masalahnya ada hadis yang memotivasi bersilaturahmi dengan iming – iming dapat kelancaran rizki. Hadis tersebut adalah:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahminya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari dan Al-Baihaqi)
Gimana ya?
Begini sobat..
Meniatkan dunia dalam amal akhirat, kurang tepat bila dihukumi salah semuanya. Adanya hadis di atas dan yang semakna, menunjukkan bahwa meniatkan dunia dalam amal akhirat perlu dirinci. Keterangan ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Sholih Alu Syaikh -hafidzohullah- dalam Kitab “At-Tamhid Syarah Kitab At-Tauhid” :
Pertama, amal ibadah yang tidak diiming – imingi manfaat dunia oleh syariat. Seperti sholat, puasa dan yang lainnya. Maka meniatkan amal ibadah yang seperti ini untuk mencari dunia, hukumnya terlarang, bahkan termasuk perbuatan syirik.
Kedua, amal ibadah yang diiming – imingi manfaat dunia oleh syariat. Seperti amalan yang dibahas di sini; silaturahmi, lalu berbakti kepada kedua orangtua dan yang lainnya. Hukum meniatkan dunia pada amalan yang seperti ini, dapat diketahui melului rincian berikut :
- Meniatkan dunia seutuhnya, 100 % untuk keuntungan dunia, maka tidak boleh. Dia berpeluang terkena ancaman pada ayat di atas.
- Meniatkan pahala akhirat dan manfaat duniawi. Asalnya dia niatkan untuk mencari pahala Allah di akhirat dan agar terjauhkan dari siksa neraka, namun terbetik juga keinginan mendapatkan pahala duniawi dari ibadahnya, maka hukumnya boleh. Di saat syariat mulia ini menyebut manfaat – manfaat dunia itu sebagai iming – iming amal sholih, maka ini menunjukkan bolehnya meniatkan amalan – amalan seperti itu untuk mencari akhirat dan manfaat duniawi secara bersamaan.
Selain hadis tentang silaturahmi di atas, ada dalil – dalil lainnya yang menguatkan keterangan ini. Yaitu hadis yang berbunyi,
من قتل قتيلا عليه بينة فله سلبه
“Siapa yang membunuh musuh saat perang dan ada buktinya, maka dia berhak mendapatkan salabnya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Salab adalah, pakaian, senjata, uang, kendaran dan semua benda bernilai yang dibawa oleh musuh.
Artinya, mujahid fi sabilillah berperang membunuh musuh dengan niat mencari pahala jihad di sisi Allah, sekaligus untuk memperoleh salab, maka tidak mengapa.
Namun ada catatan penting tentang menggabungkan niat manfaat dunia dengan akhirat untuk amalan yang diterangkan motivasi duniawi oleh Islam, agar amalan tersebut tidak batal pahalanya. Diterangkan oleh Syaikh Sholih Alu Syaikh -hafidzohullah-,
أتى هذا من زيادة الترغيب له ولم يقتصر على هذه الدنيا، بل قلبه معلق أيضًا بالآخرة، فهذا النوع لا بأس به ولا يدخل في النوع الأول مما ذكره السلف في هذه الآية
“Niat dunia hanya sebagai niat sampingan. Tidak meniatkan amalan hanya untuk dunia saja. Hatinya tetap terpaut kepada akhirat (bukan dunia). Bila seperti ini niatnya, maka tidak mengapa. Tak termasuk meniatkan amal ibadah untuk dunia yang diancaman oleh ayat di atas, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama salaf.”
Maksudnya, niat mengharap pahala akhirat adalah niat utamanya atau niat primer. Dunia hanya niat tambahan, niat sekunder.
Ada tambahan penjelasan penting yang melengkapi kesimpulan ini dari Imam Ghozali -rahimahullah-,
وَاخْتَارَ الْغَزَالِيُّ اعْتِبَار الْبَاعِث عَلَى الْعَمَل، فَإِنْ كَانَ الْقَصْد الدُّنْيَوِيّ هُوَ الْأَغْلَب لَمْ يَكُنْ فِيهِ أَجْر، وَإِنْ كَانَ الدِّينِيّ أَغْلَب كَانَ لَهُ الْأَجْر بِقَدْرِهِ، وَإِنْ تَسَاوِيَا تَسَاقَطَا،
Kami terjemahkan secara bebas ya…
Perolehan pahala seorang yang meniatkan manfaat dunia dalam ibadahnya bertingkat – tingkat :
- Bila niat duniawi yang lebih dominan, maka seorang tak dapat pahala di akhirat.
- Bila niat akhirat yang lebih dominan, maka seorang tetap mendapat pahala akhirat sesuai kadar niat akhiratnya.
- Bila prosentasenya sama imbang antara niat dunia dan niat akhirat, maka tak dapat apa – apa pula di akhirat.
(As-Syuyuti, dalam Al-Ashbah wan Nadzo-ir)
Kesimpulan :
Boleh bersilaturahmi lalu meniatkan supaya dilancarkan rizkinya. Karena syariat mengiming – imingi duniawi, hal ini menunjukkan bolehnya menjadikan manfaat dunia tersebut sebagai niat. Namun dengan syarat : niat akhirat adalah tetap niat yang utama, lalu niat mendapat kelancaran rizki adalah niat pengikut saja. Kemudian niat akhirat tetap lebih dominan daripada niat bersilaturahmi untuk mencari rizki.
Wallahua’alam bis showab.
Kampung Santri Sawo, Jogjakarta 17 Rabiul Tsani 1444 H
Penulis : Ahmad Anshori
Artikel RemajaIslam.Com