Bila terbuat dari kulit yang suci, maka tak masalah. Boleh dipakai untuk apapun, termasuk untuk bahan jaket, sepatu atau yang lainnya. Kulit hewan dihukumi suci apabila hewan tersebut adalah hewan yang halal dimakan dagingnya, lalu mati bukan sebagai bangkai, akakntetapi disembelih secara Islam.
Imam Ibnu Hazm rahimahullah menukil adanya kesepakatan seluruh ulama dalam hal ini,
وَاتَّفَقُوا أَن جلد مَا يُؤْكَل لَحْمه إذا ذكي : طَاهِر ، جَائِز استعماله ، وَبيعه
“Para ulama sepakat bahwa kulit hewan yang halal dimakan hukumnya suci, boleh dimanfaatkan atau dijual.” (Maritibul Ijma’ hal. 23, dalam Islamqa)
Yang jadi masalah bila kulit yang menjadi bahan jaket, sepatu atau fashion lainnya yang bahan dasarnya kulit, adalah kulit yang najis. Apa saja kulit hewan yang najis itu?
- Kulit babi atau anjing, dan semua hewan yang haram dimakan.
- Kulit bangkai.
Yaitu hewan yang halal dimakan namun mati sebagai bangkai.
Namun, ada sebuah solusi yang bisa bisa digunakan untuk menjadikan kulit tersebut menjadi suci. Solusi itu adalah “menyamak kulit”, dalam bahasa fikih diisebut “ad-dibaagh”. Dalil yang menunjukkan kulit najis dapat menjadi suci apabila disamak adalah hadis dari Maimunah -radhiyaallahu’anha-, diceritakan pada hadis tersebut bahwa suatu hari Nabi berjalan melewati bangkai seekor kambing yang sedang diseret oleh seseorang. Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- kemudian bersabda,
هلا أخذتم إهابها؟
“Kulitnya kenapa ngga’ dimanfaatkan saja?”
Para sahabat menjawab,
إنها ميتة
“Sudah jadi bangkai ya Rasulullah.”
Nabi menjawab,
قال: “يطهرها الماء والقرض
“Iya, kulit itu dapat suci oleh air dan daun qorodh” (maksdunya disamak, pent). (HR. Muslim)
Dalam hadis yang lain dari sahabat Ibnu Abbas -radhiyallahu’ahuma-, belaiu berkata, “Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam- bersabda,
إذا دبغ اﻹهاب فقد طهر
“Bila kulit telah disamak, maka ia menjadi suci.” (HR. Muslim)
Setelah ketemu solusi yang dapat mensucikan kulit yang najis, yaitu dengan dibagh atau disamak, pembahasan berikutnya adalah fungsi mensucikan pada dibahg / proses samak terhadap kulit hewan yang najis, ini dapat terjadi pada seluruh hewan yang najis atau ada pengecualian?
Jawabannya, ada pengecualian dalam hal ini.
Yaitu kulit babi dan anjing, tidak dapat menjadi suci meskipun telah disamak.
Alasannya adalah :
- Allah ta’ala menyebut babi itu binatang yang menjijikkan,
أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“atau daging babi, maka ia itu menjijikan.”
Imam Syafi’i -rahimahullah- menerangkan bahwa kata ganti “ia” (dhomir hu ه ) pada ayat maknanya kembali pada babi, bukan kepada daging babi. Sehingga seluruh bagian tubuh babi hukumnya najis, bukan hanya dagingnya saja.
Lalu najisnya anjing, termasuk kulitnya, diqiyaskan (dianalogikan) kepada najisnya babi. Sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib dan Ibnu Mas’ud.
Adapun kulit hewan yang haram dimakan, selain anjing dan babi, ada perbedaan pendapat ulama tentang bisakan menjadi suci setelah disamak atau tidak. Ringkasnya, kulit hewan yang haram dimakan tidak dapat disucikan dengan samak. Karena dalam sebuah hadis Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- menyebut samak sama dengan menyembelih.
فَإِنَّ دِبَاغَهَا : ذَكَاتُهَا
“Samak kepada kulit bangkai, itu sama seperti menyembelihnya.” (HR. Nasa-i, dari sahabat Salamah bin Muhabbiq)
Maksudnya, fungsi samak / dibagh terhadap kulit itu sama seperti fungsi sembelih kepada hewan. Hewan menjadi halal dimakan bila telah disembelih, demikan pula kulit bangkai menjadi suci dengan disamak. Dan hewan yang menjadi halal dengan disembelih itu hanya hewan yang halal dimakan, bukan hewan – hewan haram. Ini menunjukkan bahwa samak hanya dapat mensucikan kulit bangkai hewan yang halal dimakan saja.
Sehingga kesimpulannya adalah, kulit najis yang dapat suci dengan disamak adalah, kulit seluruh hewan yang dagingnya halal dimakan, yang mati sebagai bangkai. Adapun kulit babi dan anjing, serta seluruh hewan yang haram dimakan, seperti ular, buaya, harimau dll, hukumnya tetap najis meskipun telah disamak.
Wallahua’alam bis showab.
Kampung Santri Sawo, Jogjakarta 19 Rabiul Tsani 1444 H
Penulis : Ahmad Anshori
Artikel RemajaIslam.Com