Fikih I’tikaf #2
Hukum I’tikaf
I’tikaf hukumnya sunnah. Dasarnya adalah Ijmak seluruh ulama yang dilandasi dengan ayat:
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Ingatlah, ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud“. (QS. Al-Baqoroh: 125)
I’tikaf menjadi sunnah mu-akkadah jika di bulan Ramadhan, terutama sepuluh hatri terakhirnya.
I’tikaf menjadi wajib saat dinazarkan. Sebagaimana adalah sebuah hadis yang mengisahkan tentang ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu saat bertanya kepada Nabi Muhammad -shallallahu’alaihi wa sallam- :
كنت نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام؟ قال : فأوف بنذرك ، فاعتكف ليلةً
“Saya pernah bernazar di masa jahiliah, bahwa saya akan melakukan i’tikaf selama satu malam di Masjidil Haram.
Beliau bersabda, “Kalau begitu tunaikan nazarmu.”
Lalu Umar pun melakukan i’tikaf satu malam.” (HR. Al-Bukhari).
Ketentuan I’tikaf karena bernazar:
Pertama, bila nazar I’tikaf diucapkan dengan tidak dibatasi kriteria tertentu (mutlak), yaitu tidak diikatkan dengan cara, waktu atau tempat tertentu, maka silahkan dilakukan secara mutlak sebagaimana yang diucapkan.
Kedua, bila nazar I’tikaf diucapkan dengan dibatasi kriteria tertentu (muqoyyad), yaitu diikatkan dengan cara, waktu atau tempat tertentu, maka ada rincian berikut:
- Dibatasi dengan cara tertentu seperti harus dilakukan dengan berurutan, maka harus dilakukan dengan berurutan.
- Dibatasi dengan waktu dan tempat tertentu maka tidak harus dilakukan pada waktu dan tempat tertentu yang disebutkan pada nazar, asalkan waktu dan tempat yang lain sama unggulnya atau lebih baik dari yang terucap dalam nazar. Tidak boleh jika waktu dan tempat pelaksanaan ternyata down grade secara keunggulan.
Kriteria masjid yang unggul secara syariat adalah:
- Dilaksanakan shalat jumat dan jama’ah secara rutin.
- Ada majelis ilmunya.
Ketentuan waktu yang unggul secara syariat adalah:
- Empat bulan suci, yaitu Dzulqa’idah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, lebih unggul daripada bulan lainnya.
- Bulan Ramadhan lebih unggul daripada empat bulan suci dan seluruh bulan.
- Malam hari sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih unggul daripada malam-malam sebelumnya dan seluruh malam sepanjang tahun.
- Siang sepuluh hari awal Dzulhijjah lebih unggul daripada seluruh siang sepanjang tahun.
- Sepertiga malam terakhir lebih unggul dari seluruh waktu di malam hari.
Misalnya, Mario bernazar melakukan I’tikaf di Masjid Pugong Dalangan. Di masjid tersebut dilakukan shalat jumat dan jama’ah dan kajian juga banyak. Namun tempat tinggalnya lebih dekat dengan Masjid Abdurrahman bin Auf Kasongan, di masjid ini juga shalat jumat dan jamaah dilakukan secara rutin, kajian juga ramai, maka dia boleh memilih beri’tikaf di masjid asjid Abdurrahman bin Auf Kasongan.
Adapun jika Mario memilih masjid selain Masjid Pugong Dalangan yang tidak dilakukan shalat jumat atau dilaksanakan shalat jamaah tapi jarang atau bolong-bolong, atau shalat jama’ah rutin dilakukan namun jarang atau tidak ada majelis ilmu, maka tidak boleh. Karena masjid seperti itu dianggap down grade keunggulan.
Indra bernazar beri’tikaf di sepuluh hari terakhir ramadahan, maka tidak boleh diganti dengan sepuluh hari Syawal. Atau beri’tikaf di sepertiga malam, maka tidak boleh diganti dengan i’tikaf di awal malam. Adapun bila Indra bernazar melakukan I’tikaf di bulan Rabi’ul Awwal, tapi dia ingin menggantinya di bulan Jumadal Ula, maka tidak mengapa. Karena secara keunggulan dua bulan ini sama derajatnya.
Sehingga orang yang bernazar melakukan I’tikaf di tempat dan waktu yang paling unggul, maka dia wajib melakukannya di tempat dan waktu itu.
Seperti Juarisman bernazar melakukan I’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan, atau di masjidil Harom, maka wajib dilakukan di waktu dan tempat tersebut.
Dalil kaidah ini adalah Allah memerintahkan untuk menunaikan nazar (al-wafa’).
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menunaikan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj: 29)
Seorang tidak dianggap menunaikan sebuah nazarnya kecuali menunaikannya secara sama dengan yang dia nazarkan, atau menunaikan dengan cara yang lebih baik.
(Penulis menemukan kaidah dan rincian ini dari hasil kajian terhadap penjelasan Syaikh Abdullah Jibrin di dalam Kitab beliau “Tashil Al-Fiqh; Al-Jami’ Limasail Al-Fiqh Al-Qodimah wal Mu’ashiroh” jilid 7 hal. 567-571, Bab I’tikaf Nazar)
Hikmah I’tikaf
Pada dasarnya tak ada hadis yang membicarakan keutamaan I’tikaf secara eksplisit, yang ada adalah perintah Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- kepada sahabat beliau, yaitu yang diceritakan di dalam Hadis Abu Sa’id Al-Khudri dan yang lainnya. Namun ada sejumlah hikmah di balik ibadah I’tikaf:
- Seorang muslim dapat melakukan ibadah dengan lebih fokus.
- Menguatkan iman.
- Bertinggal di tempat yang paling dicintai Allah.
- Dapat beribadah kepada Allah dengan seluruh yang dialami oleh orang yang beri’tikaf, bahkan waktu dia selama I’tikaf dia persembahkan untuk Allah.
- Mendidik jiwa untuk mencintai ibadah.
- Menyempurnakan ibadah di bulan Ramadhan. Karena seorang mukmin telah berpisah dengan makan dan minum, tinggal menyempurnakan berpisah dengan makhluk dan hal-hal mubah lainnya untuk makin dekat dengan Allah.
- Agar dapat bertemu dengan Lailatul Qodr.
References:
Al-Jibrin, Abdullah bin Abdulaziz (1440H). Tashil Al-Fiqhi Al-Jami’ Li masail Al-Fiqhi Al-Qodimah wal Mu’ashiroh. Penerbit Dar Ibnul Jauzi: Dammam – Saudi Arabia.
15 Ramadhan 1444 H, di Kampoeng Santri Wirokreten Jogja.
Penulis : Ahmad Anshori
Artikel : RemajaIslam.com