Ada sebuah akhlak islam yang mulia dan penuh nilai etika yang luhur. Akhlak tersebut adalah rendah hati/tawadu’. Rendah hati dengan kedua jenisnya, yaitu dengan:
- rendah hati kepada kebenaran
- dan rendah hati kepada sesama makhluk. Seorang hamba yang rendah hati akan menjadi lebih tinggi dan mulia, sedangkan kesombongan hanya akan membuatnya rendah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ.
Tidaklah seorang itu merendahkan diri karena Allah melainkan akan ditinggikan martabatnya oleh Allah.
Rendah hati bukan hanya sekedar perilaku yang terpuji, penuh manfaat atau dilakukan karena adanya manfaat di balik sifat ini. Namun Islam menilai rendah hati sebagai amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karenanya para ulama menerangkan,
التواضع نوعان؛ محمود ومذموم، فالمحمود ما كان الله وقصد به المتواضع وجه الله ، والمذموم ما كان مقصودا به المنفعة والمصلحة؛ كأن يتواضع لذي مال لماله، أو لذي جاه لجاهه، أو لذي رئاسة لرئاسته، ونحو ذلك.
“Sikap rendah hati ada dua jenis:
- yang terpuji, yaitu ketika motivnya karena Allah, dengan niat mencari keridhaan-Nya,
- selanjutnya yang tercela, yaitu ketika motivnya adalah kepentingan atau tujuan tertentu, seperti merendahkan diri di hadapan orang kaya untuk memperolah hartanya, atau kepada pejabat karena kedudukan, atau kepada pimpinan karena posisinya dan lan sebagainya.”
Kerendahan hati adalah kehormatan dan kemuliaan, memberikan kemuliaan di dunia dan di akhirat bagi siapapun yang melakukannya. Orang yang rendah hati menganggap dirinya kecil, namun di mata Allah dan di pandangan manusia, ia dianggap mulia. Berbeda dengan orang yang sombong, yang merasa besar, padahal sebenarnya ia sangat rendah, benar-benar kerdil dan kecil.
Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan jelas menerangkan esensi sifat rendah hati dan tentang sifat kebalikannya. Hingga tak ada kebingungan dalam memahaminya, dan tidak ada celah untuk menyanggahnya. Beliau menyampaikan,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”
Di dalam sabdanya ini, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menggambarkan orang sombong sebagai seseorang yang menolak kebenaran, enggan menerima petunjuk, dan merendahkan orang lain. Orang yang sombong memposisikan diri di atas hamba-hamba Allah.
Di sisi lain, orang yang rendah hati adalah yang menerima kebenaran, tidak merendahkan orang lain, tidak sombong, tidak menganggap dirinya tinggi, dan tidak bersikap sombong terhadap orang lain.
Kemudian, hadits tersebut menunjukkan tentang adanya dua jenis kerendahan hati:
- Rendah hati terhadap kebenaran.
- dan kerendahan hati kepada sesama makhluk.
Rendah hati terhadap kebenaran yaitu dengan penerimaan dan penyerahan diri kepada Allah, tunduk pada-Nya, merendahkan diri di hadapan-Nya, dan beribadah kepada-Nya, sebagaimana disebutkan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya:
وَمَن يَسْتَنكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِ، وَيَسْتَكْبِر فَسَيَحْشُرُهُمْ إلَيْهِ جَمِيعًا
“Siapa enggan menyembah-Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.” (An-Nisa’: 172)
Adapun kerendahan hati terhadap mahluk, diwujudkan dengan sikap tidak sombong kepada mereka. Imam Muslim dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari Iyad Al-Mujasha’i radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yang menyatakan bahwa
إِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ : أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ، وَلَا يَبْغِي أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ»
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku bahwa bersikap rendah hatilah antara satu dengan yang lainnya. Jangan saling meninggi dan jangan saling melampaui batas.”
Dengan demikian, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menjelaskan tidak bersikap rendah hati terhadap hamba Allah sebenarnya berarti bersikap sombong terhadap mereka.
Sikap sombong kepada sesama manusia ada dua aspek:
- bisa terjadi dengan sombong di hadapan mereka karena kelebihan yang benar-benar nyata dan ada. Jika demikian model sombongnya, orang seperti ini telah mebangga-banggakan dirinya secara dzalim.
- atau bisa terjadi dengan sombong di hadapan mskhluk karena kelebihan yang sebenarnya tidak ada pada dirinya. Jika demikian model sombongnya, orang seperti ini telah melampui batas.
Sikap yang seharusnya dilakukan seorang hamba kepada saudaranya seiman adalah tidak bersikap sombong baik karena alasan kelebihan yang memang ada ataupun tidak. Sebaliknya, yang semestinya dilakukan adalah selalu merendahkan diri, bersikap tenang serta berusaha menjauhi kesombongan dan keangkuhan. Sikap yang demikian akan menjadikan seorang semakin bernilai dan mulia. Adapun sikap sebaliknya; yaitu kesombongan, hanya akan membawa pelakunya kecuali bertambahnya hina dan petaka.
Siapa yang merendahkan diri kepada Allah dan kepada hamba-hamba-Nya, maka Allah akan meninggikan derajatnya. Allah menyebutkan tentang ganjaran ini dalam firman-Nya,
يَرفَع اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu; itu adalah derajat, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadila: 11).
Oleh karenanya, buah yang paling tampak dari ilmu dan iman adalah kerendahan hati. Karena rendah hati adalah kepatuhan yang sempurna kepada kebenaran, tunduk kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, dengan mengerkan perintah dan menjauhi larangan, disertai sikap rendah hati kepada sesama hamba Allah, dengan memperhatikan hak-hak anak muda dan orang tua, orang berpengetahuan dan yang kurang berpengetahuan.
Aduhai betapa indahnya kerendahan hati, betapa tinggi nilainya, betapa mulia kedudukan karena sebabnya di dunia dan di akhirat. Mereka yang rendah hati selalu memiliki kemuliaan dan kedudukan yang tinggi, serta memperoleh pahala dan keberkahan yang besar.
Betapa butuhnya hamba terhadap kemuliaan yang seperti ini. Hamba butuh kepada keadaan diaman ia selalu tertuju kepada Tuhan Yang Maha Memberi, Yang Mahakuasa dan Yang Maha Tinggi. Dia berharap petunjuk-Nya dalam semua urusan hidup dengan berdoa,
اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أنت
Ihdinii li-ahsanil akhlaq, laa yahdi li-ahsaniha illa anta. Washrif ‘anni sayyi-aha, la yashrifu sayyi-aha illa anta.
“Ya Allah bimbinglah aku untuk berakhlak yang terbaik; tidak ada yang mampu memberi petunjuk kepada yang terbaik kecuali Engkau, dan jauhkan aku dari akhlak-akhlak yang buruk. Tak ada yang bisa menjauhku darinya kecuali Engkau.”
Dan doa yang termaktub dalam bacaan ta’awudz/meminta perlindungan kepada Allah dari sebuah bahaya, dalam riwayat yang populer,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ
Allahumma innii ‘audzubika min munkarootil akhlaq wal a’mal wal ahwa’.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak, perbuatan dan nafsu yang buruk.”
Referensi:
Al-Badr, Abdurazzaq bin Abdulmuhsin, (1444H). Ahadits Ishlah Al-Qulub, Dar Imam Muslim, Madinah, Saudi Arabia.
Penterjemah: Ahmad Anshori
Copyright RemajaislamCom