Bismillah…
Ada tiga metode yang diajarkan Islam dalam merespon kemungkaran:
- dengan tangan,
- dengan lisan,
- dan dengan hati.
Ketiga metode ini disusun urut dari yang paling serius atau langkah pertama dalam mengingkari kemungkaran sebelum beralih kepada alternatif selanjutnya, yaitu lisan dan hati. Dalil ketiga level mengingkari kemungkaran ini adalah hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallallahu’anhu-, beliau pernah mendengar Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطعْ فَبِقَلبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإيْمَانِ
“Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya dia ubah dengan tangannya (kekuasaannya). Kalau dia tidak mampu hendaknya dia ubah dengan lisannya dan kalau dia tidak mampu hendaknya dia ingkari dengan hatinya. Dan inilah selemah–lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Dan juga hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Rasul shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنَ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّاكَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِه، ثُمَّ إِنَّها تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَالَا يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَالاَ يُؤْمَرُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُم بِيَدِهِ فَهُو مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُو مُؤْمِنٌ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ اْلإِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَل
“Tidak ada seorang nabi pun yang diutus oleh Allah kepada umat sebelumku kecuali ia memiliki dari umatnya Al-Hawariyun (para pengikit setia) dan para sahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka akan muncul orang-orang yang mengatakan sesuatu yang mereka tidak perbuat dan mereka berbuat sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad kepada mereka dengan tangannya, maka ia adalah seorang mukmin. Dan barangsiapa yang berjihad dengan lisannya, maka ia adalah seorang mukmin. Dan tidak ada setelah itu dari keimanan walaupun hanya sebesar biji sawi.” (HR. Muslim)
Penjelasan:
Pertama, mengingkari dengan tangan.
Merespon dengan tangan merupakan tingkatan yang paling kuat di dalam mengingkari kemungkaran. Hukumnya wajib bagi yang mampu merubah kemungkaran dengan tangannya. Contohnya menyita dan memusnahkan miras dan obat terlarang, menutup lokalisasi, membubarkan aksi perjudian, pinjol dll yang biasa dilakukan oleh aparat pemerintah.
Apa yang dimaksud mampu dalam hal ini?
Kemampuan manusia ada dua jenis:
- Mampu secara kauni (kekuatan fisik).
- Mampu secara syar’i.
Yang dimaksud mampu di sini adalah kemampuan secara syar’i (al-istitho’ah as-syar’iyyah), yaitu kemampuan yang relevan dengan upaya mewujudkan visi-visi Islam (maqosid as-syar’iyyah) melalui pengingkaran dengan tangan, tanpa menimbulkan dampak bahaya yang lebih besar.
Adapun mampu secara kauni adalah kemampuan fisik untuk memukul, menendang dll kepada pelaku maksiat. Atau mampu merusak sarana-sarana dosa, seperti meja judi, alat musik dll. Kemampuan jenis ini bukanlah ukuran mampu merubah kemungkaran dengan tangan. Karena kalau hanya mampu secara fisik namun tidak mampu secara syar’i, bisa menimbulkan kemungkaran atau kerusakan yang lebih besar. Sehingga bisa jadi seorang dianggap mampu secara kaini/fisik namun tidak mampu secara syar’i.
Siapa yang boleh mengingkari dengan tangan?
Sebagian ulama berpandangan cara ini hanya boleh dilakukan oleh penguasa. Karena penguasa dianggap mampu merubah dengan tangan tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Namun yang tepat, cara ini tidak terbatas pada pemerintah saja. Karena lafad hadisnya berbentuk umum:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ
“Siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu makan ubahlah dengan lisan…”
Mengingat tangan itu identik dengan makna kekuatan, maka mengingkari dengan tangan boleh dilakukan oleh siapa saja asal ia mampu, terhadap orang-orang yang berada di dalam wilayah kuasa atau tanggungjawabnya, seperti ayah kepada anak-anaknya, pimpinan perusahan kepada karyawannya, aparatur desa kepada warganya dll.
Kemampuan yang dimaksud sekali lagi adalah kemampuan secara syar’i, bukan sekedar mampu secara kauni/fisik.
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan,
فتبين بهذا أن الإنكار بالقلب فرض على كل مسلم في كل حال وأما الإنكار باليد واللسان فبحسب القدرة
“Dari hadis tersebut menjadi jelas bahwa mengingkari dengan hati adalah kewajiban bagi setiap muslim dalam keadaan apapun. Adapun mengingkari dengan tangan dan lisan, maka disesuaikan dengan kemampuan.” (Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam-Tahqiq Mahir Fahl, 3/952).
Praktek mengingkari kemungkaran dengan tangan telah diterapkan oleh para Nabi, diantaranya:
Ibrahim menghancurkan berhala…
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَّهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
“Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (QS. Al-Anbiya’: 58)
Isa membakar patung sapi lalu membuangnya ke laut….
وَانظُرْ إِلَىٰ إِلَٰهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا ۖ لَّنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا
“Lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan).” (QS. Taha: 97)
Isa mematahkan salib-salib dan memusnahkan babi-babi ketika beliau turun di akhir zaman nanti….
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَيُوشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَماً مُقْسِطاً، فَيَكْسِرُ الصَّلِيبَ، وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيرَ
“Demi Dzat yang jiwaku ada di genggamanNya, hampir saja Isa bin Maryam turun di tengah kalian sebagai pemimpin yang adil, dia akan mematahkan salib dan membunuh babi..” (HR. Muslim)
Wallahulmuwaffiq…
*** Makalah ini adalah bahan materi kuliah umum Rumaysho Academy yang diselenggarakan secara live streaming setiap Rabu sore (Maghrib-Isya), dinarasumberi oleh Ustadz Ahmad Anshori, Lc -hafidzohullah-.
Dua metode selanjutnya insyaallah akan dijelaskan dalam tulisan secara terpisah.
Referensi:
Ar-Ruhaili, Ibrahim bin Amir. Manhaj Ahlissunnah fil Amri bil’ma’ruf nah Nahyi ‘anil Munkar.
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com