Di hari Asyura ketika kita berpuasa, orang Syi’ah malah menumpahkan darah mereka.
Ada di antara mereka yang mengiris kepala mereka dengan pisau, bahkan sampai anak kecil pun mengiris kepala. Ada yang mengiris-ngiris badannya, semuanya dikatakan untuk mengenang kematian Husain.
Apakah mengenang kematian harus seperti itu?
Padahal Islam melarangnya …
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة
“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalan Jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103).
Apakah sedih mesti dengan mencelakakan diri?
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Setiap muslim seharusnya bersedih atas terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhu karena ia adalah sayyid-nya (penghulunya) kaum muslimin, ulamanya para sahabat dan anak dari putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Fathimah yang merupakan puteri terbaik beliau. Husain adalah seorang ahli ibadah, pemberani dan orang yang murah hati. Akan tetapi kesedihan yang ada janganlah dipertontokan seperti yang dilakukan oleh Syi’ah dengan tidak sabar dan bersedih yang semata-mata dibuat-buat dan dengan tujuan riya’ (cari pujian, tidak ikhlas). Padahal ‘Ali bin Abi Tholib lebih utama dari Husain. ‘Ali pun mati terbunuh, namun ia tidak diperlakukan dengan dibuatkan ma’tam (hari duka) sebagaimana hari kematian Husain. ‘Ali terbenuh pada hari Jum’at ketika akan pergi shalat Shubuh pada hari ke-17 Ramadhan tahun 40 H.”
Bersabar yang mesti dilakukan, bukan dengan mencelakakan diri.
Ibnu Katsir kembali mengatakan,
Lebih daripada itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah sayyid (penghulu) cucu Adam di dunia dan akhirat. Allah telah mencabut nyawa beliau sebagaimana para nabi sebelumnya juga mati. Namun tidak ada pun yang menjadikan hari kematian beliau sebagaima’tam (hari kesedihan). Kematian beliau tidaklah pernah dirayakan sebagaimana yang dirayakan pada kematin Husain seperti yang dilakukan oleh Rafidhah (baca: Syi’ah) yang jahil. Yang terbaik diucapkan ketika terjadi musibah semacam ini adalah sebagaimana diriwayatkan dari ‘Ali bin Al Husain, dari kakeknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,
ما من مسلم يصاب بمصيبة فيتذكرها وإن تقادم عهدها فيحدث لها استرجاعا إلا أعطاه الله من الأجر مثل يوم أصيب بها
“Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah, lalu ia mengenangnya dan mengucapkan kalimat istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un) melainkan Allah akan memberinya pahala semisal hari ia tertimpa musibah” Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Demikian nukilan dari Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, 8: 221.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel RemajaIslam.Com