Bismillah…
Dalam sebuah video yang tersebar luas, Ustadz Adi Hidayat menafsirkan sebuah nama surat di Al Quran yaitu surat Asy-Syu’ara’ sebagai surat pemusik, dan ayat yang ada di dalamnya yang menyinggung para penyair “Asy-Syu’ara’ maksudnya pemusik. Ayat tersebut adalah:
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ
أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ
وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا ۗ وَسَيَعْلَمُ
الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ
“Penyair-penyair itu diikuti oleh setan (jin dan manusia). Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan membela diri sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (QS. Asy-Syu’ara’: 224-227)
Berikut tanggapannya:
Memaknai Asy-Syu’ara’ dengan pemusik tidaklah tepat. Alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak ada rujukan kitab tafsir atau ulama ahli tafsir klasik (salaf) maupun kontemporer (kholaf) yang memaknai Asy Syu’ara dengan pemusik. Sehingga memaknai Asy-Syu’ara sebagai pemusik adalah penafsiran yang baru muncul di zaman ini, di Indonesia.
Di saat sebuah pemahaman tafsir tidak ditemukan pendahulunya dari para ulama atau ahli, utamanya penafsiran dari para salafus sholih yaitu sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, secara kaca mata manhaj (metode) beragama menunjukkan kekeliruan. Menafsirkan surat Asy-Syu’ara’ sebagai pemusik adalah kekeliuran yang amat fatal, tidak pernah dapat ditemukan tafsiran dari para ahli tafsir yang diakui di zaman khalaf, apalagi salaf (para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai rujukan.
Di dalam hadis dari sahabat Jundub bin Junadah -radhiyallahu’anhu- disebutkan bahwa Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- melarang dengan tegas menafsirkan Al-Quran dengan pendapat pribadi yang tidak ada pendahulunya dari para salaf,
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
“Siapa yang berbicara tentang ayat Al Quran dengan pendapat pribadinya, maka dia telah kerilu meskipun ternyata kebetulan benar.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Yakni salah secara metode, meskipun ternyata kebetulan kesimpulannya benar bersesuaian dengan penafsiran para ulama salaf, ia tetap dihukumi berdosa, karena memahami Al Quran dengan metode yang salah. Terlebih jika pemahamannya ternyata keliru, seperti penafsiran Asy-Syu’ara’ dengan pemusik, ini jauh lebih fatal.
Di dalam hadis yang lain Nabi mengingatkan dengan lebih tegas!
Disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas -radhiyallahu’anhuma- bahwa Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,
من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار
“Siapa yang berbicara tentang ayat Al Quran dengan pendapat pribadinya, maka siapkanlah tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi, beliau menilai hadis ini Hasan)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- menerangkan hadis ini:
فمن قال في القرآن برأيه، فقد تكلف ما لا علم له به، وسلك غير ما أُمِر به، فلو أنه أصاب المعنى في نفس الأمر، لكان قد أخطأ، لأنه لم يأتِ الأمر من بابه، كمن حكم بين الناس على جهل فهو في النار، وإن وافق حكمه الصواب.
“Siapapun yang menafsirkan Al-Quran dengan pendapatnya sendiri, maka ia telah membebani dirinya dengan beban yang tidak dia ketahui ilmunya, dan menempuh jalan yang tidak diperintahkan kepadanya. Sekalipun dia tepat dalam memahami maknanya, dia tetaplah keliru karena dia tidak datang dari pintu yang benar. Hal ini bagaikan orang yang memutuskan perkara di antara manusia tanpa ilmu, maka dia akan di neraka, meskipun keputusannya tepat.” (Majmu’ Al-Fatawa: 13/371).
Kedua, musik dan syair dua hal yang berbeda meskipun kerapkali bersandingan.
Memaknai syair sebagai musik sama saja memaksakan dua hal yang bukan sinonim atau dua benda yang berbeda, meskipun kedua hal ini sering bersandingan. Seperti yang menafsirkan teh adalah air putih, atau air putih adalah teh, karena kedua benda ini sering bersatu. Tentu saja ini pemahaman yang keliru.
Salah seorang penyair, sastrawan arab terkemuka yang sangat dikenal di dunianya; Ibnu Rasyiq (1) di dalam kitabnya Al-‘Umdah mengatakan,
الموسيقى حلة الشعر.. فإن لم يلبسها طويت
“Musik adalah pakaian syair/puisi. Jika tidak dipakaikan musik, maka ia akan terlipat (tidak dibaca/terabaikan).”
Di dalam baitnya ini, Ibnu Rasyiq mengungkapkan bahwa musik adalah pakaiannya syair. Artinya fungsinya terhadap syair sebagai pelengkap atau penghias. Andaikan syair tanpa musikpun tetap sah untuk disebut syair. Ini menunjukkan bahwa musik dan syair adalah dua hal yang berbeda meskipun sahabat dekat.
Dan pujangga akan selalu disebut pujangga, tak akan pernah orang bodohpun menyebutnya pemusik. Seperti kita mengenal Chairil Anwar, W.S Rendra dan Taufik Ismail sebagai pujangga tanah air. Namun tak pernah seorangpun menyebut mereka sebagai pemusik.
Sebenarnya dua hal ini amat mudah dibedakan. Tidak bisa mewakili satu sama lain untuk menafsirkan.
Kenapa jadi ribet begini ya????
Ketiga, secara prespektif makna bahasa arab juga tidak tepat.
Asy-Syu’ara’ الشعراء merupakan bentuk jamak dari kata Asy-Syaai’r الشاعر, artınya orang yang melantunkan syair. Adapun syair dalam makna bahasa arab definisinya adalah,
كلام موزون مُقفَّى قصدًا
“Kata-kata yang diucapkan dengan penuh perhitungan dan niat yang baik.”
Adapun menurut pengertian para ahli mantiq, syair adalah,
قول مؤلَّف من أمور تخييلية، يقصد به الترغيب أو التنفير، كقولهم: الخمر ياقُوتة سيالة، والعَسَل قئُ النحْل
“Kata-kata yang terdiri dari khayalan, dimaksudkan untuk menggugah atau menakut-nakuti, seperti pepatah: ‘Anggur adalah mutiara yang mengalir, dan madu adalah muntahan lebah.'” (sumber: Mu’jam Al-Ma’ani)
Coba kita perhatikan definisi di atas, dengan gamblang memaknai syair sebagai kata-kata. Dan kita semua paham apa itu kata-kata kan? Yaitu ungkapan yang diucapkan oleh lisan, bukan suara yang muncul dari alat musik. Musik itu adalah suara atau irama yang muncul dari alat musik.
Bahkan andaikan dipaksakan berdalih bahwa bahasa Indonesia yang kurang mewakili makna sesungguhnya dari kata Asy-Syu’ara’, tapi ya ngga sejauh itu juga pak Ustadz! Jika dipahami bahwa musik menjadi salahsatu unsur syair, apakah bijak memaknai sesuatu dengan salahsatu unsur yang membentuknya? Misalnya saat Anda ditanya:
“apa itu air?”
Anda menjawab “air adalah oksigen.”
Apakah jawaban seperti ini jawaban yang pintar dan benar? Dengan alasan bahwa oksigen merupakan salahsatu unsur air.
Tentu saja keliru kann?!
Bahkan andaikan jawaban ini dipilih oleh anak TK dalam soal pilihan ganda, tetap akan dinilai salah oleh gurunya.
Rasanya tak berlebihan jika ada yang menafsirkan air dengan oksigen, itu lebih pintar, walaupun sama-sama keliru. Karena oksigen adalah unsur pokok di dalam air, jika tidak ada oksigen maka tak akan ada wujud air. Adapun musik di dalam syair, bukanlah unsur pokok, ia hanya unsur pelengkap atau pemercantik saja. Sebagaimana yang diterangkan di dalam bait Ibnu Rasyiq di atas. Tidak adanya musik, tidak akan menyebabkan tidak adanya wujud syair. Akantetapi tidak adanya oksigen, akan meneyabkan tidak adanya wujud air. Sehingga menafsirkan air sebagai oksigen itu Jain lebih pintar daripada menafsirkan syair dengan musik. Kendati demikian, apa ada orang yang menilai memaknai air dengan oksigen itu benar?! Atau ia tak perlu mengklarifikasi dan mengakui bahwa ia telah keliru?!
Wallahul muwaffiq…
@Malam hari di Kantor Las Karya Ahmad, Tegalwaton, Semarang – Salatiga.
____
(1) Ibn Rusyaiq (390-463 H) adalah seorang sastrawan, penyair, dan kritikus sastra Arab terkemuka dari Kairouan, Tunisia. Ia dikenal dengan karyanya yang luas dalam bidang linguistik, retorika, dan kritik sastra. Karyanya yang paling terkenal adalah Kitab Al-‘Umdah fi Shina’ah al-Shi’r wa Naqdih (العمدة في صناعة الشعر ونقده) “Referensi tentang Karya Puisi dan Kritiknya”. Buku ini ditulis pada rentang tahun 412 H – 425 H.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh ustadz, Ustadz Adi Hidayat beda dgn kita ust dlm mengartikan musik, Musik dlm syi’r yg dimaksud ustadz Adi Hidayat irama/notasi ustadz bukan suara yg dihasilkan dgn suara musik
Waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.
Seorang tidak bisa mendefiniskan sebuah istilah yg sangat popüler dan familiar di masyarakat dg definisinya sendiri Akh. Lalu ia berkilah bahwa bukan makan itu yang dıa maksud. Jika itu yg beliau maksudkan ttg musik maka beliau bisa menyalahkan masyarakat pada umumnya yg memaknai dg definisi yg lumrah. Jika mmg itu yg dimaksud mengapa tidak sebut saja “intonasi/ İrama suara”?! Klo beliau menyebutnya dg musik maka tidak ada makna yg kecuali suara2 yg muncul darı alat musik, yg telah dihukumi haram oleh keempat mazhab yg mu’tabar (hanafi, maliki, syafi’i, hambali).