Bismillah…
Metode yang benar dalam menafsirkan Al-Quran tidak hanya merupakan kunci untuk memahami ajaran agama, tetapi juga merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang ingin mendekat dan memahami kitab suci Al Quran dengan penuh kehati-hatian dan penghormatan.
Memahami metode yang benar dalam menafsirkan Al-Quran adalah esensial karena Al-Quran bukanlah sekadar kumpulan kata-kata atau ayat-ayat yang dapat ditafsirkan sesuai keinginan pribadi. Sebaliknya, Al-Quran adalah wahyu ilahi yang diberikan kepada Nabi Muhammad -shalallahu’alaihi wa sallam- untuk panduan umat manusia menuju jalan yang benar.
Bahaya menafsirkan Al-Quran tidak dengan metode yang benar sangatlah nyata. Tafsir yang keliru dapat menyebabkan kesalahpahaman terhadap ajaran Islam, bahkan bisa membawa konsekuensi yang serius seperti memperkuat akidah atau pemahaman yang salah, menyebarkan bid’ah, dan bahkan mengarah pada penyalahgunaan ayat-ayat Al-Quran untuk kepentingan politik, hawa nafsu atau ideologis tertentu yang menyimpang dari ajaran Quran dan Sunnah. Dalam konteks ini, penting untuk dipahami bahwa menafsirkan Al-Quran tanpa mengikuti metode yang ditetapkan oleh para Salaf, yaitu generasi awal Islam yang mendapat petunjuk langsung dari Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam tercurah atasnya-, merupakan tindakan yang amat berbahaya.
Nabi -shalallahu’alaihi wa sallam- telah dengan tegas memperingatkan umatnya tentang bahaya menafsirkan Al-Quran dengan pendapat pribadi tanpa dasar yang kuat dari ajaran yang telah ditetapkan. Dari sahabat Jundub bin Junadah -radhiyallahu’anhu- disebutkan bahwa Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- melarang dengan tegas menafsirkan Al-Quran dengan pendapat pribadi yang tidak ada pendahulunya dari para salaf,
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
“Siapa yang berbicara tentang ayat Al Quran dengan pendapat pribadinya, maka dia telah kerilu meskipun ternyata kebetulan benar.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Ini bermakna bahwa meskipun kesimpulannya mungkin benar secara kebetulan, dia tetap keliru secara metodologi karena tidak mengikuti pendapat Salaf. Ini dihukumi sebagai dosa, terutama jika pemahaman tersebut ternyata salah. Contohnya yang sedang viral; menafsirkan Asy-Syu’ara’ dengan pemusik.
Di dalam Nabi mengingatkan dengan lebih tegas! Disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas -radhiyallahu’anhuma- bahwa Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,
من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار
“Siapa yang berbicara tentang ayat Al Quran dengan pendapat pribadinya, maka siapkanlah tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi, beliau menilai hadis ini Hasan)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- menerangkan hadis ini:
فمن قال في القرآن برأيه، فقد تكلف ما لا علم له به، وسلك غير ما أُمِر به، فلو أنه أصاب المعنى في نفس الأمر، لكان قد أخطأ، لأنه لم يأتِ الأمر من بابه، كمن حكم بين الناس على جهل فهو في النار، وإن وافق حكمه الصواب.
“Siapapun yang menafsirkan Al-Quran dengan pendapatnya sendiri, maka ia telah membebani dirinya dengan beban yang tidak dia ketahui ilmunya, dan menempuh jalan yang tidak diperintahkan kepadanya. Sekalipun dia tepat dalam memahami maknanya, dia tetaplah keliru karena dia tidak datang dari pintu yang benar. Hal ini bagaikan orang yang memutuskan perkara di antara manusia tanpa ilmu, maka dia akan di neraka, meskipun keputusannya tepat.” (Majmu’ Al-Fatawa: 13/371).
Kemudian, metode yang tepat dalam menafsirkan Al-Quran adalah dengan mengikuti tahapan berikut ini:
- Menafsirkan Al Quran dan Al Quran.
- Menafsirkan Al Quran dengan hadis Nabi
- Menafsirkan Al Quran dengan pernyataan para salafus sholih yaitu: para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
- Menafsirkan Al Quran dengan makna bahasa arab.
- Sebagai pendukung, dibolehkan menafsirkan Al Quran dengan riwayat-riwayat Ahlul Kitab atau melalui asbabun nuzul (kronologis turunnya ayat) untuk memahami makna ayat (sumber: Fatawa Islamqa no. 287146).
Setiap tahapan di atas, ada dalil-dalil dari syariat yang menunjukkan keabsahannya dalam penafsiran Al Quran. Al-Quran adalah yang pertama kali harus digunakan untuk menafsirkan Al-Quran, karena itu metode ini menafsirkan Al Quran dengan firman Allah secara langsung. Kemudian hadis Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- adalah penjelas dari firman Allah berikutnya dan memang fungsi dari hadis Nabi adalah penjelas Al Quran. Selanjutnya Al-Quran diturunkan dalam bahasa arab, sehingga bahasa arab juga menjadi dasar pemahaman di dalam memaknai Al-Quran. Dan para Salafus sholih adalah orang-orang yang paling dekat dengan bahasa itu, dan paling memahami maksud Rasul, mereka menyaksikan proses turunnya wahyu, dan mereka mengetahui kondisi di saat wahyu itu turun. Mereka diakui dengan ketepatannya mengikuti kebenaran dan kebaikan. Oleh karena itu, penafsiran mereka diberikan prioritas daripada penafsiran orang lain.
Wallahul muwaffiq…
@Malam hari di Kantor Las Om Mamad, Tegalwaton, Semarang – Salatiga.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com