Bismillah…
Unta Nabi ﷺ punya nama. Al-‘Adhba’ namanya. Unta ini bukan sembarang unta. Ia cepat, kuat, tak terkalahkan dalam lomba. Semua orang tahu itu. Tapi suatu hari, seekor unta lain datang. Dikendarai oleh seorang Arab Badui. Dan hari itu, unta yang tak pernah kalah… kalah.
Para sahabat tampak terpukul. Kaget. Kecewa.
يا رسولَ اللهِ سبقتِ العضباءُ
“Ya Rasulullah Al-‘Adhba’ dikalahkan,” ujar mereka
Seolah, ini bukan sekadar kekalahan unta. Tapi kekalahan harga diri.
Tapi tahukah kau, apa yang Nabi ﷺ katakan?
إنَّ حقًّا على اللهِ أن لاَ يرتفعَ منَ الدُّنيا شيءٌ إلاَّ وضعَه.
“Sesungguhnya, Allah tidak akan meninggikan sesuatu dari dunia ini, kecuali Dia pasti akan merendahkannya juga.” (HR. An-Nasa’i)
Kalimat itu seperti embun pagi. Menyejukkan kepala yang panas. Menenangkan dada yang sesak. Dunia ini, kawan… tidak layak untuk terlalu dibanggakan. Apa pun yang kau banggakan hari ini, mungkin akan diremehkan besok. Apa yang kau agungkan hari ini, bisa jadi akan tenggelam esok hari.
Nabi, Sang Puncak Ketawadhuan
Ada seorang lelaki gugup, gemetar, nyaris kehilangan kata.
Ia berdiri di hadapan Rasulullah ﷺ. Seorang manusia yang dikenal di langit dan bumi. Dan Nabi, dengan senyum lembutnya berkata:
هَوِّن عليك ، فإني لستُ بملِكٍ ، إنما أنا ابنُ امرأةٍ من قريش كانت تأكل القَديدَ
“Tenangkan dirimu, aku ini bukan raja. Aku hanyalah anak dari seorang wanita biasa, yang makan daging kering di pojokan rumahnya.” (HR. Al-Hakim dan Thabrani)
Dan Jarir menutup kisah ini dengan membacakan satu ayat:
وما أنت عليهم بجبار فذكر بالقرآن من يخاف وعيد
“Kamu bukanlah orang yang memaksa/sombong kepada mereka. Maka peringatkanlah dengan Al-Qur’an, orang-orang yang takut akan ancaman-Ku.” (QS. Qaf: 45)
Bayangkan, seorang pemimpin umat, kekasih Allah, menyebut dirinya biasa-biasa saja. Seolah berkata:
“Jangan takut padaku. Aku seperti kalian. Aku makan seperti kalian. Aku tidur seperti kalian. Aku juga pernah lelah. Aku juga pernah sedih.”
Ini bukan tentang kerendahan. Ini tentang kerendahan hati.
Dan hanya orang besar yang bisa serendah itu.
Jarir dan Senyum yang Tak Pernah Lupa
Jarir bin Abdullah, seorang sahabat yang sangat mengagumi Nabi ﷺ, pernah berkata:
ما حَجبَني رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ منذُ أسلمتُ ، ولا رآني إلَّا تبسَّمَ
“Sejak aku masuk Islam, Nabi tidak pernah menghalangi aku duduk di sisinya. Dan setiap kali beliau memandangku, beliau tersenyum.” (HR. Tirmidzi)
Lihatlah…
Betapa cinta itu tidak butuh banyak kata.
Cukup senyum.
Cukup kehadiran.
Cukup menjadi tempat duduk yang tidak ditolak.
Karena Dunia Tidak Perlu Ditaklukkan
Kita hidup di dunia yang sibuk mengajarkan: naik, tinggi, unggul, pertama.
Padahal, Nabi kita justru mengajarkan:
turunlah, merunduklah, dekatlah.
Karena hanya dengan merendah, kita bisa menyentuh hati orang lain.
Tawadhu bukan soal berjalan menunduk, suara lirih, atau pakaian sederhana.
Tawadhu adalah soal hati.
Hati yang tahu tempatnya.
Hati yang tidak merasa lebih dari yang lain.
Hati yang tetap lembut… meski disanjung ribuan kali.
Maka jika hari ini engkau merasa paling cepat, paling cerdas, paling kuat…
ingatlah Al-‘Adhba’.
Unta itu pun pernah kalah.
Dan Nabi pun tersenyum…
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori Lc,. M. Pd.
Artikel: Remajaislam.com