Kedelapan, maksiat menyebabkan hati tidak lagi menganggapnya sebagai perkara yang buruk.
Hati tidak lagi menganggap kemaksiatan sebagai perkara yang buruk karena telah menjadi suatu kebiasaan. Dalam kondisi demikian, pelaku maksiat tidak lagi peduli dengan pandangan manusia yang menganggap dirinya buruk, ataupun komentar jelek mereka terhadapnya. Bahkan, bagi pemuka kefasikan, kondisi ini merupakan puncak ketidakpedulian dan kesempurnaan kelezatan. Sampai-sampai, salah seorang dari mereka berbangga diri dengan maksiat dan menceritakannya kepada orang yang tidak mengetahui bahwa ia melakukan maksiat. Ia berkata: “Wahai Fulan, aku telah berbuat ini dan itu.”
Manusia seperti ini tidak pantas dilindungi. Akibatnya, dia terhalang dari jalan menuju taubat dan pintu-pintunya pun biasanya telah tertutup.
Nabi bersabda:
كُلُّ أُمَّنِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِحْهَارِ: أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ علَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ : يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا، كَذَا وَكَذَا، فَيَهْتِكُ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ
“Setiap ummatku dilindungi, kecuali al-majaabiruun (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Termasuk sikap menampakkan maksiat adalah ketika Allah menutupi (maksiat) hamba-Nya (pada malam hari), kemudian pagi harinya dia memaparkannya dan berkata: “Wahai Fulan, pada hari ini dan itu aku telah melakukan begini dan begitu.’ Ia membongkar kejelekan dirinya sendiri, padahal pada malam hari Rabbnya telah menutupinya.”
Kesembilan, maksiat menjadikan seseorang hina.
Kesepuluh, maksiat mewariskan kehinaan.
Di antara dampak maksiat adalah mewariskan kehinaan; karena sebenar-benar kemuliaan hanyalah terdapat dalam ketaatan kepada Allah.
Allah berfirman:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً.
“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah ke- muliaan itu semuanya.” (QS. Faathir: 10)
Artinya, carilah kemuliaan dengan mentaati Allah. Sebab, seseorang tidak akan mendapat kemuliaan melainkan dengan ketaatan kepada-Nya.
Sebagian Salaf berdo’a:
اللهم أعزني بِطَاعَتِكَ وَلا تُدلّنِي بِمَعْصِيَتِكَ.”
“Ya Allah, muliakanlah aku dengan mentaati-Mu dan jangan hinakan aku dengan mendurhakai-Mu.”
‘Abdullah bin al-Mubarak berkata:
Aku melihat dosa mematikan hati
dan kecanduan dengannya mewariskan kehinaan.
Meninggalkan dosa adalah kehidupan hati,
maka lebih baik bagimu mendurhakai kemaksiatan.
Kesebelas, maksiat merusak akal.
Di antara dampak maksiat adalah merusak akal. Sungguh, akal memiliki cahaya, sedangkan maksiat pasti memadamkan cahayanya. Jika cahaya tersebut padam, niscaya kemampuan akal pun berkurang dan melemah.
Sebagian Salaf berkata: “Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah melainkan akalnya hilang.”
Hal ini sangat jelas karena apabila akal seseorang sehat, pasti ia akan mencegah pelaku maksiat dari maksiatnya. Akalnya akan menyadarkannya bahwa dia berada dalam genggaman Rabb, di bawah kekuasaan-Nya, di dalam negeri dan bumi-Nya, diawasi oleh Allah, dan para Malaikat melihat serta bertindak sebagai saksinya.
Keduabelas, maksiat mengunci mati hati pelakunya.
Di antara dampak maksiat adalah hati pelakunya akan terkunci jika dosa telah bertambah banyak, hingga akhirnya dia menjadi orang- orang yang lalai. Demikianlah penafsiran sebagian Salaf terhadap firman Allah :
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifiin: 14)
Mereka menegaskan: “Itulah dosa setelah dosa.”
Al-Hasan berkata: “Itulah dosa di atas dosa, hingga membutakan hati.”
Sebagian lagi berkata: “Jika dosa dan maksiat mereka bertambah banyak, hal itu akan melingkupi hati-hati mereka.”
Asal masalahnya, hati berkarat disebabkan maksiat. Jika maksiat bertambah, maka karat tadi menjadi penutup hati. Tutupan tersebut semakin lama semakin bertambah hingga akhirnya hati tertutupi, terkunci, dan tergembok. Jika hal ini terjadi setelah adanya petunjuk dan pengetahuan, maka hati menjadi terbalik. Bagian atasnya menjadi bagian bawah. Pada saat itu, musuhnya akan menguasai dan menggiringnya sesuka hati.
***
Referensi:
Al-Badr, Abdurazzaq bin Abdulmuhsin, (1444H). Ahadits Ishlah Al-Qulub, Dar Imam Muslim, Madinah, Saudi Arabia.
Ahmad Anshori
Remajaislam.com