Siapakah Muhammad ﷺ yang Kita Cintai?
Pernahkah kita duduk di malam yang sunyi, lalu tiba-tiba bertanya pada diri sendiri: Siapa sebenarnya Muhammad ﷺ, manusia agung yang namanya kita sebut dalam shalawat setiap hari?
Beliau bukan sekadar tokoh sejarah. Beliau bukan sekadar nama besar dalam buku-buku. Muhammad ﷺ adalah utusan Allah, cahaya yang mengusir gelap, penunjuk jalan yang menyelamatkan manusia dari kesesatan. Lewat beliau, kita mengenal Tuhan kita, mengenal makna hidup, mengenal jalan menuju surga.
Cinta kepada beliau adalah cinta terbesar setelah cinta kepada Allah. Tetapi, pernahkah kita bertanya dengan jujur: Bagaimana seharusnya mencintai Rasulullah ﷺ?
Ibadah Itu Hanya dengan Syariat Allah
Dalam Islam, ada satu kaidah yang sangat penting: kita hanya boleh beribadah kepada Allah dengan cara yang Allah syariatkan, melalui kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya ﷺ.
Artinya, tidak boleh kita berkreasi sendiri, menambah atau mengurangi. Karena ibadah bukan tentang selera kita. Ia tentang taat, tunduk, patuh sepenuhnya.
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengada-adakan hal baru dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.”
(HR. Bukhari, no. 2499)
Ibadah yang tulus adalah yang sesuai syariat. Bahkan untuk hal yang kita cintai, seperti Rasulullah ﷺ, cara mengekspresikannya tetap harus mengikuti aturan Allah.
Bagaimana dengan Maulid Nabi?
Setiap tahun, sebagian orang merayakan kelahiran Nabi ﷺ. Ada yang berargumen: ini tanda cinta, ini ekspresi rindu. Tapi mari kita jujur: apakah Rasulullah ﷺ sendiri pernah merayakannya? Apakah para sahabat, yang cintanya tak tertandingi, pernah merayakannya?
Jawabannya: tidak. Tidak ada satu pun dari mereka yang melakukannya.
Allah berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa saja yang dibawa Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.”
(QS. Al-Hasyr: 7)
Dan Nabi ﷺ bersabda:
علَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَة
“Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk sepeninggalku. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah dari perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud, no. 3991; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Cinta sejati tidak butuh tambahan. Ia hanya butuh ketaatan. Maka, tidak perlu kita membuat perayaan maulid yang tidak pernah beliau syariatkan.
Lalu bagaimana? Nabi ﷺ sendiri sudah mengajarkan cara mengagungkan hari kelahirannya: dengan puasa sunnah Senin. Ketika ditanya tentang puasa itu, beliau bersabda:
فيه ولدت، وفيه أنزل عليَّ
“Itulah hari aku dilahirkan, dan hari diturunkan wahyu kepadaku.”
(HR. Muslim, no. 1978)
Cinta Para Sahabat yang Tak Pernah Usang
Kalau kita ingin belajar bagaimana cara mencintai Nabi ﷺ, lihatlah para sahabat.
Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu
Saat Nabi ﷺ wafat, banyak yang tidak sanggup menerima kenyataan itu. Tapi Abu Bakr berkata dengan suara yang tegas namun bergetar:
“Barang siapa menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat. Barang siapa menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup dan tidak akan mati.”
Itulah cinta sejati. Menempatkan Nabi ﷺ sebagai hamba dan utusan Allah, bukan melebih-lebihkan.
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
Suatu kali Umar berkata:
“Wahai Rasulullah, engkau lebih aku cintai dibandingkan segala sesuatu, kecuali diriku sendiri.”
Nabi ﷺ menjawab:
“Tidak, (imanmu) belum sempurna hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
Maka Umar pun segera menegaskan:
“Sekarang, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”
(HR. Bukhari)
Cinta itu bukan ucapan kosong. Umar membuktikan dengan hidup yang penuh ketaatan.
Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu
Setelah Nabi ﷺ wafat, Bilal tidak sanggup lagi mengumandangkan azan. Setiap kali ia mulai, suaranya pecah oleh tangisan. Akhirnya ia memilih meninggalkan Madinah. Itulah rindu yang tulus, cinta yang menyakitkan, tapi tetap tidak ia wujudkan dengan acara-acara baru.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
Anas pernah berkata:
“Aku tidak pernah mencium aroma yang lebih harum dari aroma Nabi ﷺ, dan tidak pernah menyentuh sesuatu yang lebih lembut daripada tangan beliau.”
(HR. Muslim)
Kesaksian itu bukan puisi, itu kenyataan. Sebuah bukti cinta yang dihidupi, bukan sekadar dirayakan.
Pelajaran untuk Kita
Para sahabat mencintai Nabi ﷺ dengan cara:
- Taat pada setiap perintahnya.
- Menjauhi larangannya.
- Menjaga sunnahnya dengan sepenuh hati.
- Berkorban dengan jiwa dan raga.
Mereka tidak pernah merayakan maulid, padahal merekalah yang paling layak melakukannya jika memang itu baik.
Penutup
Cinta sejati itu sederhana. Ia tidak butuh hiasan, tidak butuh perayaan. Ia butuh bukti.
Kalau kita mengaku mencintai Rasulullah ﷺ, maka buktikan dengan cara yang beliau ajarkan: ikuti sunnahnya, jalani ajarannya, beribadah sesuai syariat.
Karena kelak di hari kiamat, yang kita butuhkan bukan pesta perayaan, tapi syafaat beliau. Dan syafaat itu hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar mengikuti sunnahnya.
Wallahu a‘lam.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com