Tafsir QS. Al-Furqan Ayat 63
وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka, mereka berkata: ‘Salāman (perkataan yang damai)’.” — Al-Furqan: 63
Akhlak Hamba yang Dicintai Ar-Rahman
Ayat ini menggambarkan salah satu ciri agung dari ‘ibād ar-Raḥmān — hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih. Mereka bukan hanya dikenal karena rajin beribadah, tetapi karena kelembutan akhlaknya terhadap sesama.
Ketika orang-orang bodoh memancing emosi dengan ucapan yang menyakitkan, mereka tidak membalas dengan makian, tidak juga terlibat dalam pertikaian. Sebaliknya, mereka memilih diam yang mulia, atau menjawab dengan tutur kata yang baik — penuh ketenangan dan kehormatan diri.
Tafsir Para Ulama Salaf
1. Al-Ṭabarī (w. 310 H)
Dalam Jāmi‘ al-Bayān, al-Ṭabarī menukil berbagai pendapat salaf:
- Ibnu Zayd berkata: “Mereka tidak sombong, tidak zalim, dan tidak berbuat kerusakan.”
- Al-Hasan al-Bashrī berkata: “Mereka penyabar; jika orang lain berbuat bodoh kepada mereka, mereka tidak membalas dengan kebodohan.”
- Mujāhid menafsirkan: “Salāman” bermakna perkataan yang lurus dan benar (سدادًا من القول).
- Sebagian ulama lain menafsirkan: “Mereka berjalan di bumi dengan kelembutan dan kesabaran; tidak membalas kebodohan dengan kebodohan.”
2. Al-Qurṭubī (w. 671 H)
Dalam Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, beliau menjelaskan:
“Makna ‘salāman’ adalah ucapan yang lembut, aman dari dosa, dan menenangkan hati. Mereka tidak membalas celaan dengan celaan, tetapi dengan ketenangan dan kehormatan diri.”
Menurut beliau, ini adalah adab orang beriman terhadap kebodohan — mereka menolak kejahatan dengan akhlak mulia.
3. Ibn Katsīr (w. 774 H)
Dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, beliau menulis:
“Mereka tidak membalas keburukan dengan keburukan, tetapi memaafkan dan berkata dengan kata-kata yang baik.”
Beliau menghubungkannya dengan ayat lain:
“Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara engkau dan dia ada permusuhan akan menjadi seperti teman yang setia.” (QS. Fuṣṣilat: 34)
4. As-Sa‘dī (w. 1376 H)
Dalam Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, beliau menulis:
“Makna ‘Salāman’ ialah ucapan yang aman dari dosa, penuh kelembutan, dan menjaga diri dari perdebatan sia-sia. Mereka tidak menanggapi kebodohan dengan amarah, tetapi memilih keselamatan dan kemuliaan diri.”
5. Tafsir al-Jalālain
“Apabila orang-orang bodoh mengajak bicara dengan hal-hal yang tidak pantas, mereka menjawab dengan kata-kata yang baik, bukan makian. Ucapan mereka membuat mereka selamat dari dosa dan kehinaan.”
Pelajaran Akhlak yang Dalam
Ayat ini menggambarkan akhlak hamba Allah yang sejati:
-
Tidak terpancing oleh emosi.
-
Menjawab keburukan dengan kebaikan.
-
Menjaga kehormatan diri dengan kesabaran dan tutur kata lembut.
-
Lebih memilih kedamaian daripada perdebatan.
Ayat ini bukan hanya tentang cara berbicara tapi tentang bagaimana menjaga kemuliaan hati.
Membalas kebodohan dengan kebodohan hanya menurunkan derajat kita ke level yang sama. Tapi menanggapinya dengan salām — dengan ketenangan, pengendalian diri, dan tutur kata santun — adalah tanda kematangan iman.
Al-Hasan al-Bashrī menggambarkan mereka dengan indah:
“Mereka orang-orang penyabar. Bila orang lain berbuat bodoh terhadap mereka, mereka tetap bersabar dan tidak berkata kasar. Siang mereka penuh akhlak, malam mereka penuh air mata, menegakkan kaki di hadapan Allah, memohon agar dibebaskan dari siksa-Nya.”
Pesan untuk Kita Hari Ini
Di zaman media sosial yang penuh komentar tajam, ayat ini seakan menjadi cermin bagi kita semua.
Ketika diserang, dihina, atau disalahpahami, kita punya dua pilihan:
- membalas dengan emosi, atau
- menjawab dengan kedamaian.
Hamba Ar-Rahman memilih yang kedua, bukan karena lemah, tetapi karena kuat menahan diri dan tahu bahwa kemuliaan bukan terletak pada kata-kata tajam, tetapi pada kesabaran yang tenang.
Inilah tanda seorang hamba yang benar-benar mengenal Tuhannya. Ia berjalan di bumi dengan rendah hati, dan menjawab kebodohan dengan salam.
Penulis: Ahmad Anshori, Lc., M.Pd
Artikel: Remajaislam.com