Su-uzon atau berprasangka buruk akan memunculkan rentetan dosa. Ghibah, adu domba, kebencian, memata-matai (tajassus) yang semua itu akan berujung pada terjadinaya kezaliman adalah daftar dosa-dosa yang menjadi ada anak turunannya su-uzon. Sebagai contoh, seorang mengalami musibah berupa sepatu yang dia letakkan di rak sepatu teras rumahnya hilang dicuri orang. Kemudian mulailah dia berprasangka dengan liar,
“Oh jangan-jangan tetangga usil ini.. Jangan-jangan si pemulung itu… Kayaknya anak tetangga yang sering main di depan rumah itu deh”
Kemudian prasangka itu akan memancingnya membenci, ghibah, memata-matai (tajassus) dan kezaliman yang berkepanjangan. Kehormatan saudaranya menjadi tercederai, bahkan betapa banyak adu domba berawal dari su-uzon. Keadaan seperti ini menjadikan musibah yang dialami lebih parah daripada musibah karena barang dicuri orang atau karena sebuah kerugian yang memancingnya untuk suuzon kepada orang lain.
Melihat ngerinya rantai dosa su-uzon, sepantasnyalah seorang muslim menjaga hatinya jangan sampai disusahkan oleh prasangka-prasangka buruk. Mari kita pebuhi hati dengan prasangka-prasangka baik. Itu lebih menenangkan hati dan lebih membuat jiwa raga sehat. Jika menemui kekurangan pada saudaramu, berusahalah mencarikan alasan agar tetap dapat berprasangka baik kepadanya. Ya seperti dia sendiri senang jika kawannya menyikapi kekurangannya dengan prasangka yang demikian.
Bakr bin Abdullah Al Muzani -rahimahullah- menyampaikan nasehat,
إياك من الكلام ما إن أصبت فيه لم تؤجر وإن أخطأت فيه لم أثمت، وهو سوء الظن بأخيك المسلم
“Hati-hati kamu dari ucapan yang benarnya kau tak diberi pahala, salahnya kau mendapat dosa. Ucapan itu adalah su-uzon kepada kawanmu semuslim.”[1]
Maksudnya, bila prasangka burukmu kepada kawanmu itu nyata, kamu tak akan dapat pahala, tak ada manfaat di balik itu. Bila ternyata prasangka burukmu itu dusta, maka itu hanya tuduhan tanpa dasar, dengan sikap itu kamu ditimpa dosa yang tidak kecil.
Terlebih bila su-uzon dilanjutkan dengan berbagai perilaku dzalim lainnya. Biasanya su-uzon itu akan memancing sikap tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain). Kalau sudah su-uzon pada seorang sikap itu akan mengkondisikan dia melakukan tajassus kepada orang yang dia su-uzoni. Bila sudah tenggelam dalam perbuatan tajassus, itu akan memunculkan kezaliman berikutnya, yaitu ghibah. Oleh karena itulah di saat Allah ‘azza wa jalla melarang su-uzon, Allah lanjutkan dengan larangan berbuat tajassus. Kemudian Allah lanjutkan dengan larangan melakukan ghibah. Ini menunjukkan bahwa dosa-dosa itu saling berkaitan dan beruntun. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ
لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang (QS. Al-Hujurat: 12).
Al-Hafidz Ibnu Katsir -rahimahullah- menerangkan ayat ini,
يقول الله تعالى ناهيا عباده المؤمنين عن كثير من الظن، وهو التهمة والتخون للأهل والأقارب والناس في غير محله، لأن
بعض ذلك يكون إثما محضا فليجتنب كثير منه احتياطا
“Allah ta’ala melarang hambaNya yang beriman dari banyak bersu-uzon. Sebagai bentuk tuduhan atau fitnah dan khianat kepada orang-orang terdekat serta manusia pada umunya bukan pada tempatnya. Karena Sebagian dari prasangka itu murni dosa. Oleh karenanya jauhi banyak prasangka dalam rangka berhati-hati dari dosa itu.”[2]
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di -rahimahullah- juga menjelaskan:
Allah melarang dari banyak berprasangka kepada orang-orang beriman, karena sebgaian prasangka itu mengandung dosa. Diantara prasangka yang mengandung dosa adalah prasangka tanpa dasar, seperti su-uzon yang didasari katanya dan katanya kemudian dikelilingi berbagai dosa. Di saat su-uzon itu telah memasuki hati, tak cukup hanya su-uzon saja. Akantetapi akan memunculkan berkata yang tak sepatutnya, berbuat yang tak sewajarnya. Disamping itu perbuatan su-uzon, benci dan bermusuhan kepada sesame muslim, menyelisihi perintah agama yang mengajak sebaliknya.”
“Jangan saling tajassus”
Maknanya adalah jangan suka mengkorek-korek aib saudara semuslim. Biarlah saudara semuslim berada pada keadaanya yang apa adanya. Responlah kekurangan saudaramu yang jika tampak jelas di hadapnmu akan menampakkan tindakannya yang tidak patut, dengan sikap pura-pura tidak tahu (taghoful).
“Jangan saling menghibah.”
Ghibah maknanya adalah seperti yang dijelaskan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
ذكرك أخاك
“Menyebut tentang saudaramu yang tidak dia sukai dijadikan omongan, meskipun hal tersebut benar adanya.” [3]
Kemudian Allah menyampaikan sebuah perumpaan agar hambanya merasa jijik dengan ghibah,
ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya
Allah menyamakan ghibah dengan memakan daging bangkai manusia yaitu saudaranya sendiri yang dia ghibahi. Pastilah makanan seperti itu adalah makanan yang paling menjijikkan. Makan daging manusia yang bukan bangkai saja menjijikkan, apalagi sudah menjadi bangkai tak bernyawa. Oleh karenanya, jijiklah pada ghibah dan memakan daging saudaramu hidup-hidup.”[4]
[1] Riwayat Ibnu Sa’ad dalam A-Thabaqat Al-Kubra 7/210 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/226.
[2] Tafsir Al-Qurab Al-‘Adzhim, Ibnu Katsir 7/377.
[3] HR. Muslim 2589
[4] Taisir Al-karim Ar-Rahman, hal. 80.
Referensi:
Al-Badr, Abdurazzaq bin Abdulmuhsin, (1444H). Ahadits Ishlah Al-Qulub, Dar Imam Muslim, Madinah, Saudi Arabia.
Diterjemahkan oleh: Ahmad Anshori
Artikel: Remajaislam.com